PEMBELAAN TERPAKSA BERSENJATA OLEH KORBAN BEGAL YANG MENGAKIBATKAN HILANGNYA NYAWA PELAKU BEGAL
Abstract
Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi tolak ukur Pasal 49 KUHP dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan pembelaan terpaksa dan untuk mengetahui apakah pembelaan dengan menggunakan senjata tajam, tumpul, airgum maupun senjata api yang telah memiliki izin dapat dikateogirkan sebagai suatu pembelaan terpaksa. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, serta dengan melakukan pendekatan kasus (case approach). Berdasarkan kepada hasil penelitian ini, penulis menemukan bahwa di dalam ketentuan Pasal 49 KUHP tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai perbuatan yang seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai suatu pembelaan terpaksa. Dalam pasal ini juga tidak terdapat tolak ukur yang jelas, yang dapat menentukan suatu perbuatan sebagai suatu pembelaan terpaksa yang dapat terhindar dari ancaman pidana. Kemudian terkait dengan pembelaan dengan menggunakan senjata tajam, tumpul, airgun ataupun senjata api yang telah memiliki izin, penulis menemukan bahwa berdasarkan kepada Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Seseorang memiliki hak secara legal untuk memiliki, menguasai, dan menggunakan senjata api non-organik sebagai alat bela diri, dengan terlebih dahulu memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam peraturan ini. Namun aturan pasal ini bertentangan dengan Pasal 49 KUHP yang tidak menjelaskan secara tegas mengenai perbuatan apa yang dapat dilakukan dan perbuatan apa dan perbuatan apa yang dapat dikategorikan sebagai suatu pembelaan terpaksa.
The writing of this article aims to find out what is the benchmark for Article 49 of the Criminal Code in determining an act can be categorized as an act of forced defense and to find out whether a defense using sharp, blunt weapons, airguns or firearms that already have a permit can be categorized as a defense. forced. This research was conducted using normative legal research methods or doctrinal legal research, as well as using a case approach. Based on the results of this study, the author finds that the provisions of Article 49 of the Criminal Code do not explicitly explain what kinds of actions can be categorized as a forced defense. In this article there is also no clear benchmark that can determine an act as a forced defense that can avoid criminal threats. Then related to the defense using sharp, blunt weapons, airguns or firearms that already have a permit, the author finds that based on Article 1 point 3 of the Regulation of the Indonesian National Police. A person has the legal right to own, control, and use non-organic firearms as a means of self-defense, by first fulfilling the requirements as regulated in this regulation. However, the rules of this article are contrary to Article 49 of the Criminal Code which does not clearly explain what actions can be carried out and what actions and what actions can be categorized as a forced defense.