EKSISTENSI TINDAK PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI: STUDI KASUS JULIARI PETER BATUBARA EKS MENTERI SOSIAL INDONESIA

  • Ni Made Ananda Rezkya Fakultas Hukum, Universitas Udayana
  • I Dewa Gede Dana Sugama Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Abstract

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah masih terdapat hukuman pidana mati di Indonesia, serta untuk meninjau berbagai hambatan yang menyebabkan hukuman pidana mati tidak dapat diterapkan pada pelaku pada pelaku tindak kejahatan korupsi di Indonesia. Metode yang digunakan dalam riset ini memilih teknik, penelitian hukum normatif yang melakukan pendekatan pada peraturan perundang-undangan. Setelah dilakukan pengumpulan data dan dianalisis menggunakan metode yang telah ditentukan, menunjukkan bukti bahwa hukuman pidana mati dapat dijatuhkan, akan tetapi sejak berdirinya negara Indonesia sampai saat ini pengadilan belum pernah menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku korupsi. Lemahnya pembuktian, menyebabkan pengadilan sulit dalam menjatuhkan hukuman mati pada pelaku korupsi. Contoh kasus Julian. P Batubara mantan menteri sosial RI yang hanya dijatuhi pidana penjara 12 tahun, dengan jumlah uang yang dikorupsi mencapai triliunan. Kesulitan pengadilan dalam menjatuhi hukuman mati pada koruptor diakibatkan oleh undang-undang pasal 2 ayat 3 yang masih ambigu. Dalam peraturan tersebut, terdapat frasa hukuman mati dapat dilakukan apabila berada dalam kondisi tertentu. Sehingga untuk menjatuhi hukuman mati, terdapat multitafsir yang ambigu “kondisi tertentu” yang dimaksud ialah kondisi perang, atau kondisi darurat, atau kondisi pandemi, sehingga pengadilan sulit menjatuhi hukuman mati pada pelaku korupsi. Undang-undang Tipikor pasal 2 ayat 2 yang mengancam hukuman mati pada tindak pidana koruptor, tidak pernah dilaksanakan di Indonesia.


This research aims to find out whether there is still the death penalty in Indonesia, as well as to review the various obstacles that cause the death penalty not to be applied to perpetrators of corruption crimes in Indonesia. The method used in this research chooses techniques, normative legal research which takes an approach to statutory regulations. After collecting data and analyzing it using predetermined methods, it shows evidence that the death penalty can be imposed, however, since the founding of the Indonesian state until now, the courts have never imposed the death penalty on perpetrators of corruption. Weak evidence makes it difficult for courts to impose the death penalty on perpetrators of corruption. Example of Julian's case. P Batubara, former Indonesian Minister of Social Affairs, was only sentenced to 12 years in prison, with the amount of money corrupted reaching trillions. The court's difficulty in imposing the death penalty on corruptors is caused by the law, article 2 paragraph 3, which is still ambiguous. In this regulation, there is a phrase that the death penalty can be carried out under certain conditions. So to impose the death penalty, there are multiple ambiguous interpretations of "certain conditions" which are meant to be war conditions, or emergency conditions, or pandemic conditions, so that it is difficult for the court to impose the death penalty on perpetrators of corruption. Article 2 paragraph 2 of the Corruption Law, which threatens the death penalty for criminal acts of corruption, has never been implemented in Indonesia.

Downloads

Download data is not yet available.
Published
2024-12-30
How to Cite
REZKYA, Ni Made Ananda; SUGAMA, I Dewa Gede Dana. EKSISTENSI TINDAK PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI: STUDI KASUS JULIARI PETER BATUBARA EKS MENTERI SOSIAL INDONESIA. Kertha Desa, [S.l.], v. 12, n. 6, p. 4596-4614, dec. 2024. Available at: <https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthadesa/article/view/110252>. Date accessed: 07 jan. 2025.
Section
Articles

Most read articles by the same author(s)