Comparative Study Mekanisme Penyadapan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Inggris
Abstract
Conventional law of proving the record of a person's conversation (tapping results) is not yet accepted as evidence in the court. Along with technological developments, criminal law also began to evolve so the way to prove difficult criminal act also evolve following it, this development technology also affecting the methods to gain evidence such as, the result of wiretapping (recording of conversations) in the form of recordings of speech, electronic data and other types of data is now acceptable and used in evidence in court. The purpose of this study is to compare and find out about the Criminal Classification in each of the countries that are the object of this research, and the tapping mechanisms that apply to each country's legal system, both Indonesia and the UK. In this Research used Normative Research Method, with 2 approaches, statute approach, and comparative approach. The results of this study illustrate that For now in Indonesia there is no clear wiretapping mechanism set out in one Act since the wiretapping mechanisms are restored to agencies requiring information. With so many authorities / agencies granting permission to tackle various laws in Indonesia from the Chief of Police, the Attorney General, the Chairman of the Court and the Chairman of the KPK (Commission Against Corruption), make no control mechanism against the tapping information obtained, and will be harmful if the information is misused. If we compare with the United Kingdom, legislation governing electronic communication interception is regulated only in 1 (one) Act.
Menurut hukum pembuktian yang konvensional, hasil rekaman percakapan seseorang (hasil penyadapan) belum dapat diterima sebagai alat bukti di pengadilan, namun kini penyadapan kerap digunakan. Seiring dengan perkembangan teknologi, hukum pidana pun mulai berkembang sehinga cara-cara pembuktian terhadap tindak pidana yang sulit dibuktikan juga berkembang, hingga hasil dari penyadapan (rekaman pembicaraan) berupa data rekaman pembicaraan, data elektronik, dan jenis data lainnya kini dapat diterima dan digunakan dalam pembuktian di pengadilan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan dan mengetahui mengenai klasifikasi tindak pidana dan mekanisme penyadapan yang berlaku berdasarkan sistem hukum di Indonesia dan Inggris. Dalam Penelitian ini digunakan Metode Penelitian Normatif, dengan 2 pendekatan yakni, pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil dari penelitian ini menjabarkan bahwa belum ada mekanisme penyadapan yang jelas yang diatur dalam satu UU di Indonesia, karena mekanisme penyadapan dikembalikan lagi kepada instansi yang membutuhkan informasi. Inggris mengklasifikasikan suatu tindak pidana berdasarkan derajat kesalahannya, namun Indonesia menggolongkan tindak pidana menjadi 2 (dua) kategori yaitu kejahatan dan pelanggaran. Banyaknya otoritas/ instansi yang memberikan ijin untuk melakukan penyadapan di berbagai UU di Indonesia mulai dari Kapolri, Jaksa Agung, Ketua Pengadilan dan Ketua KPK (kolektif), membuat tidak adanya mekanisme control terhadap informasi penyadapan yang diperoleh, dan akan membahayakan jika informasi tersebut disalahgunakan. Jika dibandingkan dengan Negara Inggris, perundang-undangan yang mengatur tentang intersepsi komunikasi elektronik hanya diatur dalam 1 (satu) UU.
Downloads
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law of Journal) by Faculty of Law Udayana University is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.