PENGATURAN HUKUM ADAT BALI TERKAIT KEDUDUKAN HUKUM DUDA MULIH TRUNA
Abstract
Studi ini bertujuan untuk mengetahui urgensi dari aturan tentang kedudukan hukum laki-laki setelah bercerai pada perkawinan nyentana dan tinjauan hukum adat bali sebagai payung hukum terkait kedudukan laki-laki setalah bercerai dalam perkawinan nyentana yang nantinya dapat dituangkan dalam aturan Hukum Adat Bali yang tertulis dalam awig-awig. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum Yuridis Normatif, dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan sejarah. Teknik penelusuran bahan hukum dalam tulisan ini menggunakan tehnik studi dokumen, serta analisis kajian menggunakan analisis kualitatif. Hasil Penelitian ini menunjukkan adanya perubahan dan perkembangan zaman serta semakin fleksibelnya hukum adat yang berlaku pada masyarakat Bali,tradisi patrilineal yang sangat kental mulai melunak sedikit semi sedikit dan mulai menerima perkawinan nyentana. Perkawinan nyentana sejatinya banyak mendapatkan perlawanan dan bertentangan di masyarakat adat Bali, ada beberapa hal yang menjadi permasalahannya yaitu karena belum adanya aturan yang mengatur secara jelas tentang perkawinan nyentana, Â Sehingga sangatlah penting adanya aturan tertulis dalam bentuk awig-awig yang menjadi dasar dalam pelaksanaaan perkawinan nyentana ini.
The purpose of this study is to determine the urgency of the rules regarding the legal position of men after a divorce in a nyentana marriage and the review of Balinese customary law as a legal standing related to the position of men after divorcing in a nyentana marriage, which can later be set forth in the form of Balinise local law, it is written in awig-awig. This study uses the Normative Juridical method, using statue approach, conceptual approach and historical approach. The technique used for tracing legal materials is document study techniques and analysis of studies using qualitative analysis. The results of this study indicate that changes and developments of the times and increasingly flexible local Balinese local law, highly patrilineal traditions begin to soften and accept marital marriage. Actually, Nyentana marriages get a lot of resistance in the Balinese indigenous community. There are several issues that caused the problem, one of them is because there are no clear rules governing the marriage of nyentana. So, it is very important to have written rules in the form of awig-awig as the basis in the implementation of marital marriage.