KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI SAH SEBAGAI AHLI WARIS PENGGANTI DI INDONESIA
Abstract
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan hukum anak luar kawin yang diakui sah sebagai ahli waris pengganti di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Dasar filosofis dari status anak luar kawin sebagai ahli waris terkait dengan interpretasi frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan.” Inti dari permasalahan hukum terkait anak yang lahir di luar perkawinan adalah makna hukum (legal meaning) dari frasa tersebut. Untuk mendapatkan jawaban yang lebih luas, perlu juga menanggapi isu terkait keabsahan status anak. Secara alamiah, kehamilan perempuan tidak mungkin terjadi tanpa pertemuan antara ovum dan spermatozoa melalui hubungan seksual (coitus) atau melalui cara lain, yang dapat dibuktikan dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan pembuahan. Oleh karena itu, menetapkan bahwa anak yang lahir dari hubungan seksual di luar perkawin an hanya memiliki hubungan dengan perempuan sebagai ibunya dianggap tidak tepat dan tidak adil, terutama mengingat kemajuan teknologi yang memungkinkan identifikasi hubungan dengan seorang ayah tertentu. Dengan asas lex posteriori derogat legi priori dan berdasarkan yurisprudensi dari putusan Mahkamah Agung No. 784 K/Pdt/2014, anak di luar kawin sebagai ahli waris pengganti dapat diakui dan memiliki hak atas warisan yang ditinggalkan oleh keluarga sedarah ibu dan keluarga sedarah bapaknya, selama dapat dibuktikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain yang sah menurut hukum, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
ABSTRACT
The porpose to analyze the legal standing of illegitimate children recognized as legitimate heirs in Indonesia. This study employs normative legal research. The foundational philosophy behind the legitimacy of illegitimate children as heirs centers on interpreting the phrase “born outside of marriage.” The primary legal concern regarding children born outside of wedlock revolves around the legal interpretation of the expression. To garner a more comprehensive understanding, it is imperative to address related issues, specifically the legitimacy of the child. Naturally, it is implausible for a woman to undergo pregnancy without the union of ovum and spermatozoa, whether through sexual intercourse or alternative means facilitated by technological advancements leading to fertilization. Consequently, it is unjust and inappropriate for the law to stipulate that a child born from a pregnancy resulting from extramarital relations has a connection solely with the woman as the mother. Such a stance contradicts technological progress that allows establishing the child's paternity. The legal status of illegitimate children as substitute heirs is grounded in the principle of lex posteriori derogat legi priori and the precedent by Supreme Court decision no. 784 K/Pdt/2014. This implies that the position of illegitimate children as successor heirs to both parents can be acknowledged, granting them the right to the inheritance left by their maternal and paternal blood relatives, provided it can be substantiated through scientific and technological means or other legally acceptable evidence. This substantiation includes demonstrating a blood relationship and, by extension, a civil relationship with their father's family.
