SEJARAH HUKUM KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT BALI ( KAITANNYA DENGAN PERKAWINAN NYENTANA BEDA WANGSA)

  • Ni Nengah Budawati Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana

Abstract

This study aimed to know and understand about the legal culture of community on the phenomenon of different caste nyentana marriage. This research was empirical legal research legal research with behavioral approaches. The data source consisted of primary data sourced directly at the site of research and secondary data that included legislation, traditional laws, law books, magazines, dictionaries and newspapers. This study used qualitative data analysis which then produced descriptive data.Based on the national legal perspective, there are no differences in the position of husband and wife in different caste nyentana marriage. But in Balinese customary law, it resulted in the wife having a position that is more important than the husband in the family. As in the context of social life, especially in the capacity as krama in the sub-village, then the husband remains responsible for his obligations as krama muani while the wife still serves as krama luh. Related to the legal culture of indigenous people in Tabanan over different caste nyentana marriage, the fact that people are still of the view that marriage is an inter-caste marriage. Thus the legal culture of indigenous people in Tabanan tends to be static. This is motivated by many factors, one of which is either ignorance factor of traditional leaders or traditional krama of Decree of the Parliament No. 11 of 1951 which expressly has abolished inter-caste marriages that often lead to discrimination.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang budaya hukum masyarakat terhadap fenomena hukum perkawinan nyentana beda wangsa. Penelitian ini ialah penelitian hukum penelitian hukum empiris dengan pendekatan pendekatan prilaku (behavioral approach). Data primer bersumber langsung dari lokasi penelitian, sedangkan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, awig-awig­, literature hukum, majalah, kamus dan surat kabar. Pada penelitian ini data dianalisis secara kualitatif yang kemudian menghasilkan data deskriptif. Berdasarkan perspektif hukum secara nasional, tidak terdapat perbedaan kedudukan suami-isteri dalam perkawinan nyentana beda wangsa. Namun dalam Hukum adat Bali, justru mengakibatkan istri memiliki kedudukan yang lebih penting dibanding suami di dalam keluarga. Adapun dalam konteks kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam kapasitas sebagai krama di banjar, maka si suami tetap bertanggung jawab pada kewajibannya sebagai krama muani sedangkan si istri tetap berkedudukan sebagai krama luh. Terkait dengan budaya hukum masyarakat hukum adat di Tabanan terhadap perkawinan nyentana beda wangsa, faktanya masyarakat tetap berpandangan bahwa perkawinan tersebut merupakan perkawinan antar kasta. Dengan demikian budaya hukum masyarakat hukum adat di Tabanan cenderung bersifat statis. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor, salah satu diantaranya ialah faktor ketidaktahuan baik dari pemuka adat maupun krama adat tentang Keputusan DPRD  No. 11 Tahun 1951 yang secara tegas telah menghapus perkawinan antar kasta yang kerap menimbulkan diskriminasi.

Downloads

Download data is not yet available.
Published
2016-07-31
How to Cite
BUDAWATI, Ni Nengah. SEJARAH HUKUM KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT BALI ( KAITANNYA DENGAN PERKAWINAN NYENTANA BEDA WANGSA). Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), [S.l.], v. 5, n. 2, p. 301 - 320, july 2016. ISSN 2502-3101. Available at: <https://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/view/23324>. Date accessed: 25 apr. 2024. doi: https://doi.org/10.24843/JMHU.2016.v05.i02.p07.
Section
Articles

Keywords

Culture Law; different caste Nyentana; Budaya Hukum; Nyentana beda wangsa; Wangsa