IMPLIKASI HUKUM TIDAK TERPENUHINYA KUOTA 30% PEREMPUAN PADA HASIL PEMILU LEGISLATIF BAGI PARTAI POLITIK (PARPOL)
Abstract
Tulisan ini memiliki tujuan untuk mengkaji secara normatif mengkaji implikasi hukum bagi Parpol yang implementasi Kuota 30% perempuannya tidak terpenuhi dan peran serta partai politik dalam mewujudkan kuota 30% perempuan di Parlemen. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwasanya implikasi hukum bagi Parpol yang tidak memenuhi kuota 30% perempuan berdasarkan hasil Pemilu menurut Undang-Undang Partai Politik maupun Undang-Undang Pemilu, klausul ini tidak ada diatur secara tersendiri. Artinya bahwa secara hukum Parpol yang tidak mampu mengantarkan para caleg perempuan sebagai Anggota Dewan tidak mendapatkan sanksi hukum atau konsekwensi hukum lain, sebagai bentuk evaluasi. Dengan demikian aturan khusus tentang ketentuan affirmati action ini masih belum jelas ada kekaburan norma, karena tidak ada perlindungan dan kepastian hukum bagi para Caleg dan Politisi perempuan. Peran politik dalam mewujudkan implementasi Keterwakilan 30% Caleg Perempuan sebagaimana diatur di Undang-Undang Parpol dan Undang-Undang Pemilu. Sehingga dalam AD/ART dan aturan khusus tentang Pencalonan Bakal Calon Anggota Legisltif diatur tersendiri, hanya saja secara penerapan fungsi partai belum maksimal dilakukan. Baik itu fungsi rekruitmen, kaderisasi maupun fungsi pemberdayaan para anggota partai dan Caleg perempuan yang dimiliki.
This paper aims to examine normatively the legal implications for political parties whose implementation of the quota of 30% women is not met and the role of political parties in realizing the quota of 30% women in Parliament. This research is a normative legal research. The results of this study indicate that there are legal implications for political parties that do not meet the 30% quota of women based on election results according to the Political Party Law and the Election Law, this clause is not regulated separately. This means that legally political parties that are unable to introduce women candidates as Council members do not receive legal sanctions or other legal consequences, as a form of evaluation. Thus the specific rules regarding affirmati action provisions are still not clear, there is a blurring of norms, because there is no protection and legal certainty for female candidates and politicians. The role of politics in realizing the implementation of the 30% Representation of Women Candidates as stipulated in the Political Party Law and the Election Law. So that the AD/ART and special rules regarding the Nomination of Candidates for Legislative Members are regulated separately, it's just that the implementation of party functions has not been carried out optimally. Both the recruitment, regeneration and empowerment functions of party members and women candidates.