MASKULINITAS DALAM TRADIS ADU KAKI: TINJAUAN SOSIOLOGI KEKERASAN FISIK DAN KEKERASAN VERBAL
Abstract
Penelitian ini menganalisis Tradisi Tamblang Waluh sebagai suatu praktik budaya yang merepresentasikan mekanisme pembentukan dan pengukuhan maskulinitas melalui kekerasan fisik dan verbal. Tradisi yang berlangsung di Desa Adat Bungaya ini tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi budaya, tetapi juga menjadi ruang reproduksi nilai-nilai dominasi maskulin dalam struktur sosial masyarakat setempat. Teori Dominasi Maskulin milik Pierre Bourdieu menjadi landasan pemikiran dalam penelitian ini yang berupaya mengkaji bagaimana kekerasan dalam tradisi ini dikonstruksikan, dipertahankan, dan diwariskan sebagai bagian dari identitas maskulinitas pemuda. Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif, serta dokumentasi untuk menjelaskan praktik kekerasan di dalamnya. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa tradisi Tamblang Waluh menjadi arena sosial yang mereproduksi maskulinitas melalui mekanisme legitimasi kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Melalui kekerasan fisik yaitu terlihat dari adu kaki yang dilakukan oleh peserta yang disebut dengan metinjakan sebagai media uji kekuatan dan keberanian pemuda. Sedangkan kekerasan verbal hadir dari teriakan kata katuk/teli katuk oleh pemuda yang menjadi peserta Tamblang Waluh, secara tidak langsung menegaskan posisi dominasi laki-laki. Temuan adanya dominasi maskulin dalam tradisi ini, beroperasi melalui konsep konstruksi sosial tubuh, perempuan dalam ekonomi harta simbolik dan kekerasan simbolik menjadi struktur yang mendukung legitimasi kekerasan sebagai bagian dari maskulinitas pemuda Desa Adat Bungaya. Sehingga kekerasan dalam tradisi Tamblang Waluh tidak hanya sekedar ekspresi budaya namun juga menjadi salah satu mekanisme bagi pemuda dalam memproduksi dan mempertahankan identitas maskulinitas.
Kata Kunci: maskulinitas, tradisi, kekerasan fisik, kekerasan verbal
