ANALISIS TERHADAP VONIS HAKIM DENGAN ALASAN GENDER DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANGAN INDONESIA
Abstract
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui tepat atau tidaknya vonis yang telah diberikan Majelis Hakim kepada terdakwa kasus korupsi Pinangki Sirna Malasari yang merupakan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan seorang perempuan yang berhadapan dengan hukum (PBH). Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Korupsi merupakan tindak pidana yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri yang dapat merugikan perekonomian negara dengan mengesampingkan kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi atau kelompok. Pinangki Sirna Malasari yang merupakan seorang Jaksa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait kasus Djoko Tjandra. Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberikan vonis berupa 10 tahun penjara dengan denda sebanyak Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Pada tahap banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI memberikan vonis yang lebih ringan dibandingkan pada vonis sebelumnya, hal ini telah mencederai rasa keadilan di dalam masyarakat terutama alasan pengurangan hukuman yang digunakan Majelis Hakim adalah berkaitan dengan gender terdakwa. Alasan gender yang digunakan sebagai pengurangan masa hukuman Pinangki tidak tepat dengan undang-undang di Indonesia yang mana tidak ada keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subjek hukum atau no man above the law.
The purpose of this research is to find out whether or not the verdict that has been given by the Panel of Judges to the defendant in the Pinangki Sirna Malasari corruption case who is a State Civil Apparatus and a woman who is in conflict with the law. The research method used is a normative juridical method using a statutory approach and a case approach. Corruption is a criminal act that aims to enrich oneself which can harm the country's economy by setting aside public interests under personal or group interests. Pinangki Sirna Malasari who is a prosecutor has been proven to have committed a criminal act of corruption related to the Djoko Tjandra case. The Panel of Judges at the Central Jakarta District Court has sentenced him to 10 years in prison and a fine of Rp. 600 million, a subsidiary of 6 months in prison. At the appeal stage, the Panel of Judges at the DKI High Court gave a lighter sentence than the previous verdict, this has injured the sense of justice in society, especially the reason for reducing the sentence used by the Panel of Judges is related to the gender of the accused. The gender reason used as a reduction in Pinangki's sentence is inconsistent with Indonesian law, where there are no privileges given by law to legal subjects or no man above the law.