EDITORIAL

  • Gusti Ayu Made Suartika Program Magister Arsitektur Universitas Udayana

Abstract

Belakangan ini, negara-negara di Asia Tenggara sedang dilanda kondisi iklim yang relatif ekstrem. Banyak kota mengalami peningkatan suhu udara, sementaraLaosdilanda banjir terburuk dalam 35 tahun terakhir. Bencana ini telah mempengaruhi lebih dari 350.000 orang dan menelan 20 orang korban jiwa. Empat provinsi di Vietnam juga dilanda topan Wutip yang mempengaruhi hampir 100.000 orang dan menyebabkan 20 orang kehilangan nyawa. Saat tulisan ini disusun, suhu udara di beberapa negara termasuk Vietnam, Thailand, Malaysia, Laos dan Kamboja mencapai 40oC. Bahkan Suhu 30oC sudah dipandang sebagai kondisi keseharian, dan untuk beberapa kota di Bali termometer bisa mencapai angka 33oC di siang hari. Kondisi ini juga dibarengi oleh adanya penurunan curah hujan, dibanding tahun-tahun sebelumnya.Walau menjadi hal yang jarang terjadi di negara tropis, beberapa daerah juga mengalami kekeringan. Di tahun 2016, curah hujan di Bali lebih rendah dari bulan yang sama di tahun sebelumnya. Sementara itu, Kota Sukabumi di Jawa Barat mengalami kebanjiran yang disertai hujan es. Ini merupakan kondisi unik, yang mendorong kita untuk bertanya tentang situasi khusus lainnya yang kemungkinan akan terjadi ke depannya. Keadaan ini tidak terisolasi, namun banyak area telah mengalami kondisi klimatis yang secara historis belum pernah dialami sebelumnya. Kondisi klimatik yang ekstrem ini pada akhirnya menjadi pemicu terjadinya bencana kekeringan, banjir, tanah longsor, erosi pantai, kehancuran permukiman dan korban jiwa.

Kejadian di atas mendemonstrasikan dampak pemanasan global yang awalnya diragukan kebenarannya, namun sekarang menjadi sebuah fenomena yang nyata. Apa yang akan kita lakukan sekarang? Sebagai kontributor yang menentukan kualitas lingkungan binaan, strategi yang bagaimanakah yang akan kita bangun dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi beragam kemungkinan kondisi di masa yang akan datang. Seperti diketahui bersama, tidak mudah bagi kita untuk mencari jawaban untuk kedua pertanyaan ini. Kerusakan alam sudah terjadi - contoh konkrit misalnya mencairnya gunung es di kutub. Dan bagi kelompok yang meragukan keberadaan pemanasan global, jawabannya mungkin "wait and see,' karena alam akan mengobati dirinya sendiri. Permasalahan dengan sikap yang seperti ini adalah, kecenderungan bagi alam untuk menjadi lebih rusak jauh lebih besar dibanding kemampuannya untuk mengobati dirinya, sebelum bisa kembali ke kondisi semula atau ke kondisi yang lebih baik. Kitapun umat manusia, kemungkinan sudah punah sebelum kondisi ini tercapai. Eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang melewati ambang batas kemampuan alam merefleksikan pandangan yang diproposisikan oleh James O'Çonnor:'capitalism destroys the sources of its own wealth.' Kondisi ini terjadi dengan melalaikan pendekatan pembangunan: ‘triple bottom line’ dimana semua faktor penentu termasuk kerusakan lingkungan, pembuangan limbah, dan kondisi sosial perlu diperhatikan. Jika ini sudah dilakukan, maka biaya

(dampak) yang diakibatkan oleh kegiatan pembangunan terhadap lingkungan akan terbayar secara perlahan-lahan. Jika tidak, kegiatan pembangunan akan memunculkan biaya besar, yang harus ditanggung di kemudian hari oleh generasi keberikutnya.

Pembangunan yang berorientasikan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi jangka pendek, pemanfaatan bahan bakar berbasis fosil untuk memenuhi gaya hidup modern, dan kegiatan deforestasi dalam skala besar-besaran yang dipromosikan oleh para pemilik modal untuk tujuan pencapaian keuntungan bagi para pemegang saham, merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan. Dalam rangka mengakselerasi investasi untuk membiayai kegiatan pembangunan, pemerintah seringkali berada pada posisi yang lemah. Sirkumstansi ini mencegah pemerintah untuk menginstigasi beragam larangan bagi kegiatan yang berdampak negatif terhadap iklim investasi. Kondisi ini seolah-olah merupakan perjanjian antara sektor publik (negara) dan swasta untuk melanjutkan kerusakan lingkungan. Seperti misalnya, kenapakah Bali yang telah dikunjungi berjuta-juta wisatawan dalam setiap tahunnya, belum memiliki sistem pengolahan sampah yang telah dilengkapi dengan mekanisme pemilahan bahan-bahan yang bisa didaur ulang dan dijual/dimanfaatkan kembali? Bali memprodukdi lebih dari satu juta botol plastik per harinya, yang dibuang begitu saja. Ini mengimplikasikan365 juta bahan buangan plastik dalam satu tahun. Dan data ini belum memasukan bahan-bahan buangan lainnya.s

Pola tingkah laku keberikutnya adalah kecenderungan kita untuk tidak awas dengan tindakan-tindakan yang melalaikan tingginya level polusi, baik yang dikontribusikan oleh negara, publik, maupun sektor industri. Seperti telah diketahui bersama, penolakan terhadap implementasi prinsip ‘go green’ akan membawa bahaya, yang seringkali datang tanpa aba-aba, bagi kehidupan keseharian kita. Dalam konteks perencanaan kota, biaya sosial yang diakibatkan oleh penataan spasial yang tidak mempertimbangkan kondisi ini akan menjadi racun, baik bagi lingkungan maupun penghuni kota. Dampak yang diakibatkan oleh polusi yang berkelanjutanakan mempengaruhi banyak orang, khususnya anak-anak sebagai kelompok yang paling rentan. Perancangan bangunan yang tidak ramah lingkungan, seringkali bukan dikarenakan oleh ketidaktahuan akan penghawaan ruang pasif, tetapi karena kebanyakan rumah tidak memiliki lingkungan yang membuat mekanisme ini bekerja secara efisien. Sementara itu, pemasangan solar panel dan insulasi panas, tumbuhan hidroponik, daur ulang bahan buangan, generasi energi secara mandiri, dan penanaman berbagai flora untuk pemenuhan kebutuhan pangan, merupakan kegiatan yang berpeluang untuk dilakukan. Semua ini memerlukan waktu dan tidak bisa dicapai dalam sekejap, harus dilaksanakan secara sadar, berkelanjutan dan bahkan memaksa, untuk membuka peluang untuk diterapkan.

Kita sudah tidak bisa berkelit lagi. Kondisi-kondisi di atas wajib menjadi perhatian kita semua. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan terkait tanggungjawab personal, proses pendidikan, dan aksi-aksi sosial yang mendemonstrasikan efek negatif dari eksploitasi alam dan beragam tindakan yang hanya dilandasi antusiasme pribadi untuk mengenerasi keuntungan. Kita tidak bisa percaya kepada negara atupun sektor industri untuk melakukan ‘the right thing’ untuk alasan yang tepat bagi semua pihak, karena keputusan yang mereka ambil seringkali hanya didominasi kepentingan pribadi. Tetapi sebagai warganegara, kita memiliki tanggung jawab untuk mendidik generasi muda tentang pola pikir dan tingkah laku ramah lingkungan,yang akan menjadi kewajiban dominan dalam kehidupan mereka di masa depan. Generasi ini juga memerlukan 'contoh' riel sehingga mampu menolak kebijakan-kebijakan yang bernuansa politik (atau tidak), serta

mengerem kegiatan pembangunan yang mengancam keberlangsungan bentang alamiah, tradisi, dan umat manusia. Ini juga termasuk pembangunan sikap resisten terhadap kegiatan pembangunan yang tidak berkelanjutan, seperti misalnya rencana reklamasi Teluk Benoa di Bali. Dalam kondisi ini urban social movements mungkin menjadi solusi yang tepat, yang melibatkan setiap lapisan masyarakat, etnisitas, kasta serta kelompok masyarakat dengan penghasilan tertentu. Dalam aksi ini mereka bisa menyerukan opini terkait eksploitasi lingkungan dan tradisi yang dilakukan perusahaan yang berorientasi pada keuntungan semata.Warga tidak harus menjadi‘passive consumers’ tetapi mampu menjadi kelompok yang aktif yang menyuarakan perhatian besar terhadap lingkungan, sehingga mampu mewarisi alam beserta beragam potensi yang dimilikinya bagi generasi mendatang, yang juga memiliki hak untuk memanfaatkannya.

Jika ekosistem di muka bumi ini akan diperpanjang keberadaannya, kita harus memiliki andil di dalamnya, sekecil apapun itu. Kita bisa memulai dari konsep "less is more'' yang diungkapkan oleh Mies Van De Rohe. In termasuk pengurangan dalam pemanfaatan air, produksi bahan buangan, pemanfaatan bahan bakar, pemakaian listrik, tingkah lalu yang berorientasikan pada keuntungan ekonomis dan keserakahan semata, pemakaian pestisida, dan beragam pengurangan lainnya. Dalam kondisi yang lain, kita membutuhkan aksi-aksi konstruktif dalam menghemat konsumsi air bersih, pengadaan ruang terbuka hijau, reboisasi, pemanfaatan solar panel, pembangunan tempat penampungan air, dan lain-lain. Ke depan, kita tidak bisa lagi berbicara tentang kemampuan bayar/ekonomis, tetapi lebih pada aksesibilitas terhadap sumber daya. Keuntungan finansial yang diperoleh melalui praktek-praktek pembangunan yang tidak ramah lingkungan tidak akan bisa dimanfaatakan, karena sumber daya yang mau dibeli sudah tidak tersedia lagi. Mari kita pakai ini sebagai landasan pijak bersama, dimanapun kita berada di muka bumi ini.

Downloads

Download data is not yet available.

Author Biography

Gusti Ayu Made Suartika, Program Magister Arsitektur Universitas Udayana
-
Published
2016-04-30
How to Cite
SUARTIKA, Gusti Ayu Made. EDITORIAL. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), [S.l.], v. 3, n. 1, apr. 2016. ISSN 2355-570X. Available at: <https://ojs.unud.ac.id/index.php/ruang/article/view/20760>. Date accessed: 13 nov. 2024. doi: https://doi.org/10.24843/JRS.2016.v03.i01.p01.
Section
Articles

Keywords

-