PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN FATWA MUI TENTANG PRAKTIK PENGANGKATAN ANAK
Abstract
Penelitian ini memiliki tujuan menganalisis pertanggungjawaban hukum malpraktik medis pada dokter spesialis. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini bertujuan menganalisis pertanggungjawaban hukum malpraktik medis oleh dokter spesialis dalam konteks hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan malpraktik tidak spesifik, melainkan diatur secara implisit dalam Pasal 1371 BW dan Pasal 58 UU Kesehatan. Malpraktik tidak hanya terkait dengan kelalaian, tetapi juga dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu malpraktik perdata, pidana, dan administrasi, berdasarkan teori Guwandi yang diterjemahkan secara alternatif, sehingga malpraktik dibagi menjadi 3 (tiga) yakni malpraktik perdata, malpraktik pidana, dan malpraktik administrasi. Terdapat kekosongan hukum dalam peraturan perundang-undangan terkait penentuan tindakan kedokteran sebagai malpraktik. UU Kesehatan tidak memiliki pasal yang mengatur batasan-batasan tindakan malpraktik, yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Penyelesaian kasus malpraktik medis di Indonesia sebaiknya dilakukan melalui mediasi untuk mencapai keputusan yang bermanfaat bagi kedua belah pihak, yaitu pasien dan dokter spesialis. Singapura juga mengutamakan jalur non-litigasi dalam penyelesaian kasus malpraktik, dengan kemungkinan pengajuan ke Pengadilan jika mediasi tidak berhasil.
This research aims to analyze the legal accountability of medical malpractice by specialist doctors in the context of normative law. The type of research employed is normative legal research. The study aims to examine the legal accountability of medical malpractice by specialist doctors within the framework of normative law. The research findings indicate that the regulation of malpractice is not specific but is implicitly governed by Article 1371 of the Civil Code and Article 58 of the Health Law. Malpractice is not only related to negligence but can also be categorized into three types: civil, criminal, and administrative malpractice, based on Guwandi's theory, which is alternatively interpreted, resulting in the division of malpractice into three categories: civil, criminal, and administrative malpractice. There is a legal vacuum in the legislation concerning the determination of medical actions as malpractice. The Health Law lacks provisions that define the boundaries of malpractice actions, leading to legal uncertainty. The resolution of medical malpractice cases in Indonesia is preferably conducted through mediation to reach mutually beneficial decisions for both patients and specialist doctors. Singapore also prioritizes non-litigation methods in resolving malpractice cases, with the possibility of resorting to the courts if mediation fails.