Majelis Desa Adat sebagai Pasikian Desa Adat di Bali
Abstract
ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk mengkaji tentang Majelis Desa Adat Sebagai Pasikian Desa Adat di Bali. Pengkajian pada Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan sejarah. Hasil studi menjelaskan bahwa Desa Adat di Bali memiliki kewenangan untuk membentuk Pasikian Desa Adat yang telah diakui secara yuridis pada tatanan hukum di Indonesia mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 hingga pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Adat di Bali. Secara sosiologis telah diakui oleh pemerintah maupun Pemerintah Daerah serta telah disepakati dan diakui oleh Masyarakat (krama) Desa Adat di Bali. Pasca terbentuknya Majelis Desa Adat menimbulkan Konsekuensi yuridis terhadap Desa Adat di Bali, antara lain pada bidang pendampingan serta pembuatan pedoman penyuratan awig-awig dan perarem, pembentukan lembaga adat dan pembentukan pedoman ngadegang Bendesa Adat dan Majelis Desa Adat memiliki wewenang untuk menyelesaikan persoalan-persoalan adat yang tidak bisa diselesaikan oleh Desa Adat dan memberikan keputusan terkait pelanggaran Prajuru Desa Adat. Konsekuensi yuridis tersebut diatur pada Perda tentang Desa Adat, Pergub Bali dan Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Majelis Desa Adat Bali.
Kata Kunci: Desa Adat, Pasikian, Majelis Desa Adat, Kewenangan, Konsekuensi.
ABSTRACT
This Study aims to examine the Assembly of Indigenous Villages as Pasikian Indigenous Villages in Bali. The study uses normative legal research methods with statutory approaches, conceptual approaches and historical approaches. The results of the study explain that Indigenous Villages in Bali have the authority to form Pasikian Desa Adat which has been recognized juridically in the legal order in Indonesia starting from the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945 to the Regional Regulation of Bali Province on Indigenous Villages in Bali. Sociologically it has been recognized by the government and local government and has been agreed and recognized by the Indigenous Village Community (krama) in Bali. After the formation of the Indigenous Village Assembly gave juridical consequences to indigenous villages in Bali, among others in the field of mentoring and the creation of guidelines awig-awig and perarem, the establishment of customary institutions and the establishment of guidelines ngadegang Bendesa Adat and Indigenous Village Assembly have the authority to resolve customary issues that can not be resolved by the Indigenous Village and give decisions related to violations of The Village Prajuru Adat. The juridical consequences are stipulated in the Regulation on Indigenous Villages, Pergub Bali and the Articles of Association of the Household Budget of the Bali Indigenous Village Assembly.
Keywords: Indigenous Village, Pasikian, Indigenous Village Assembly, Authority, Consequences.