TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KETENTUAN PEMBAYARAN PESANGON KEPADA PEKERJA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
Abstract
Tujuan studi ini untuk mengetahui dan menganalisis tentangi ketentuan pembayaran pesangon kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, dan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil studi menunjukkan bahwa pemutusan hubungan kerja merupakan hal yang tidak dapat dicegah dalam suatu hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja. Perselisihan antara pekerja dan pemberi kerja tidak dapat dihindari dalam suatu hubungan kerja yang menyebabkan adanya pemberhentian kerja. Apabila PHK yang dilakukan oleh pengusaha atau pemberi kerja biasanya didasari oleh beberapa faktor baik ekonomi perusahaan maupun faktor lainnya yang menyebabkan hubungan kerja itu selesai. Ketika melakukan suatu “PHK terhadap pekerja, pengusaha memiliki kewajiban yang harus dilakukan berkaitan dengan memberikan uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa jabatan, dan uang penggantian hak.” Hal ini sesuai dengan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengalami perubahan melalui Pasal 81 ayat (44) Undang-Undang Cipta Kerja. Mengenai tata cara pembayaran uang pesangon yang dilakukan pengusaha memang tidak terdapat aturan yang jelas. Ketentuan mengenai hal tersebut sempat diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-150/Men/2000 bahwa “pembayaran uang pesangon terhadap pekerja yang mengalami PHK harus dilakukan secara tunai” (Pasal 33). Maka, untuk mengatur hal tersebut, pemberi kerja dan pekerja harus melakukan perundingan untuk memperoleh kesepakatan mengenai tata cara pembayaran oesangon apakah dapat dilakukan secara dicicil ataupun secara tunai. Kemudian apabila kesepakatan tersebut tidak terjadi atau terpenuhi maka dapat dilakukan dengan melaksanakan penyelesaian melalui penyelesaian hubungan industrial.
Kata Kunci: Pembayaran, Pesangon, Pekerja, Pemutusan Hubungan Kerja.
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine and analyze the provisions for severance pay to workers who have experienced termination of employment (PHK). This study uses a normative research method, and uses a statutory approach and a conceptual approach. The results of the study show that termination of employment is something that cannot be prevented in an employment relationship between an employee and an employer. Disputes between workers and employers cannot be avoided in an employment relationship that results in termination of employment. If the layoffs carried out by an entrepreneur or employer are usually based on several factors, both the company's economy and other factors that cause the employment relationship to be terminated. When carrying out a "layoff of workers, the employer has an obligation to do with the provision of severance pay and / or award pay for the term of office, and compensation money." This is in accordance with Article 156 paragraph (1) of the Manpower Act which is undergoing amendments through Article 81 paragraph (44) of the Job Creation Law. Regarding the procedure for payment of severance pay by employers, there are no clear rules. The provisions regarding this matter were regulated in the Minister of Manpower Decree No. Kep-150 / Men / 2000 that "severance pay for workers who experience layoffs must be made in cash" (Article 33). So, to regulate this, employers and workers must negotiate to obtain an agreement on the procedure for payment of oesangon, whether it can be done in installments or in cash. Then if the agreement does not occur or is fulfilled, it can be done by carrying out a settlement through the settlement of industrial relations.
Key Words: Payments, Severance Pay, Workers, Termination of Employment.