KEDUDUKAN HUKUM JANDA DALAM HUKUM WARIS ADAT BALI: ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN PASAMUHAN AGUNG III MUDP
Abstract
Tujuan tulisan ini adalah untuk memfokuskan pada status hukum janda dalam kerangka hukum waris adat Bali, khususnya status yang ditetapkan dalam Putusan MUDP Pasamuhan Agung III Bali. Bermula dari kenyataan bahwa sistem keluarga patrilineal yang menciptakan paradigma keutamaan turunan laki-laki yang dianggap lebih superior, dan kedudukan Perempuan dan seorang janda lebih rendah (inferior). Permasalahan hukum terkait hal tersebut dapat diringkas sebagai berikut: (1) Bagaimana kedudukan hukum janda menurut hukum adat bali? (2) Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap kedudukan janda berdasarkan Keputusan Pasamuhan Agung III MUDP Bali? Studi ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan historis (historical approach). Temuan menunjukkan adanya perubahan status hukum janda setelah adanya Keputusan Pasamuhan Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, yang memberikan pedoman pembuatan awig-awig untuk mengatur kedudukan Balu. Balu bukan dianggap sebagai ahli waris (Pawos 64), namun berhak atas warisan suaminya selama ia memenuhi kewajiban moral dan sosial sebagai janda/swadharmaning janda (Pawos 88). Sebelum Pasamuhan Agung MUDP Bali, yurisprudensi mencatat hakim yang responsive gender memberikan perlindungan kepada kedudukan janda terhadap harta suaminya. Menurut hemat penulis, perlunya memastikan tiap prajuru desa adat untuk memasukan kebijakan yang berkaitan dengan kedudukan balu ke dalam awig-awig, termasuk pertimbangan status terkait janda cerai/telantar, balu mulih daha, dan balu camput. Oleh karena itu sangat penting untuk memastikan perlindungan dan kepastian hukum yang responsivitas gender di pengadilan negeri dan masyarakat desa, sehingga tidak dianggap sebagai Bedeg gegantungan.
The purpose of this paper is to focus on the legal status of widows within the framework of Balinese customary inheritance law, particularly the status as established in the Decision of the Pasamuhan Agung III MUDP Bali. It stems from the acknowledgment of a patrilineal family system that prioritizes male descendants, considering them superior, while women and widows are deemed inferior. The legal issues are summarized as follows: (1) What is the legal status of widows according to Balinese customary law? (2) What forms of legal protection exist for widows based on the Decision of the Pasamuhan Agung III MUDP Bali? This study employs a normative research method with an analytical and historical approach. Findings indicate a change in the legal status of widows following the Decision of the Pasamuhan Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, providing guidelines for the creation of regulations governing the position of widows. Widows are not considered heirs (Pawos 64) but are entitled to their husband's inheritance as long as they fulfill moral and social obligations as widows/swadharmaning janda (Pawos 88). Before the Pasamuhan Agung MUDP Bali, jurisprudence records gender-responsive judges providing protection for widows' position regarding their husband's assets. The author suggests ensuring that each customary village leader includes policies related to widows' status in regulations, including considerations for divorced/abandoned widows, widows who remarry, and destitute widows. Hence, it is crucial to ensure gender-responsive legal protection and certainty in district courts and village communities to avoid being perceived as bedeg gegantungan.