Penetapan Kadar Astaxanthin Dalam Cincalok Yang Difermentasi
Abstract
Cincalok merupakan makanan tradisional khas Kalimantan Barat yang dibuat dari proses fermentasi dengan bahan dasar udang rebon. Udang rebon memiliki kandungan senyawa karotenoid, yaitu senyawa astaxanthin yang dikenal memiliki manfaat sebagai antioksidan. Pada penelitian ini dilakukan analisis kandungan senyawa astaxanthin dalam udang rebon yang telah difermentasi menjadi cincalok. Udang rebon diambil dari Desa Mendalok, Sungai Kunyit, Kalimantan Barat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kadar senyawa astaxanthin dalam cincalok yang telah difermentasi selama 1 minggu dan 2 minggu. Ekstraksi cincalok 1 minggu dan 2 minggu masing-masing dibuat sebanyak 3 batch dengan metode maserasi menggunakan pelarut aseton selama 3 hari berturut-turut. Ekstrak yang diperoleh kemudian dilakukan pengukuran kadar senyawa astaxanthin dengan metode spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang visibel (477 nm). Hasil kadar astaxanthin yang diperoleh tiap 100 g berat basah cincalok yaitu 3,292 mg (cincalok fermentasi 1 minggu) dan 0,920 mg (cincalok fermentasi 2 minggu).
Downloads
References
Aisoi, L.. 2016. Karakteristik astaxanthin sebagai antioksidan. Novae Guinea Jurnal Biologi, 7(1): 43 – 51.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmakope Indonesia Edisi 5. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dyastuti, E. A., Nofiani, R., Ardiningsih, P. 2013. Uji organoleptic cincalok dengan penambahan serbuk bawang putih (Allium sativum) dan serbuk cabai (Capsium annuum L.). JKK, 2(2): 70 – 73.
Faradilla, A. 2019. Penetapan kadar senyawa astaxanthin dalam udang rebon menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis. Jurnal Mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran UNTAN, 4(1): 1 – 9.
International Conference on Harmonisation (ICH) of Technical Requirements for Registration of Pharmaceuticals for Human Use. 2005. Q2 (R1): Validation of analytical procedures: Text and methodology, www.ich.org
Khairina, R., Fitrial, Y., Satria, H., Rahmi, N. 2013. Profil ronto produk fermentasi udang tradisional di Kalimantan Selatan. Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia (MPHPI), 153 – 159.
Khairina, R., Fitrial Y., Satrio, H., Rahmi, N. 2016. Physical, chemical, and microbiological properties of “Ronto” a tradisional fermented shrimp from South Borneo. Indonesia. Aquatic Procedia, 7: 214 – 220.
Khairina, R., Cahyanto, M. N., Utami, T., Rahardjo, S. 2016. Karakteristik fisikawi, kimiawi, dan mikrobiologis ronto selama penyimpanan. JPHPI, 19(3): 348 – 355.
19(3): 348 – 355.
Rahmayati, R., Riyadi, P. H., Rianingsih, L. 2014. Perbedaan konsentrasi garam terhadap pembentukan warna terasi udang rebon (Acetes sp.) basah. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 3(1): 108 – 117.
Rinto. 2018. Manfaat fungsional produk fermentasi hasil perikanan Indonesia, edisi 1. Palembang: UPT. Universitas Sriwijaya
Sachindra, N. M., Bhaskar, N., Mahendrakar, N. S. 2005. Carotenoid in different body components of Indian shrimp. Journal of The Science of Food and Agriculture, 85: 167 – 172.
Widayanti, Ibrahim, R., Rianingsih L. 2015. Pengaruh penambahan berbagai konsentrasi bawang putih (Allium sativum L.) terhadap mutu “Bekasam” ikan nila merah (Oreochromis niloticus). IJFST, 10(2): 119 – 124.
Yang, Y., Kim, B., Lee, J. 2013. Astaxanthin structure, metabolism, and health benefits. Journal of Human Nutrition and Food Science, 1003(1): 1 – 11