SUBTIPE HIV-1 DI BEBERAPA DAERAH DI INDONESIA DAN PERANNYA SEBAGAI PETUNJUK DINAMIKA EPIDEMI HIV
Abstract
Subtipe HIV-1 dapat ditentukan dengan melakukan analisis sekuens nukleotida dari gen selubung luar HIV-1, dengan mengekstrak DNA proviral dari sampel pasien, dan memakainya dalam PCR khusus untuk envelope HIV-1. Kemudian ini di sekuens dan dianalisis dengan memakai rujukan sekuens dari bank gen LANL (Los Alamos National Library) untuk menentukan subtipe. Distribusi geografi subtipe HIV-1 bersifat dinamis. Sampai sekarang terdapat 9 subtipe HIV dan 34 circulating recombinant forms (CRFs). Penelitian terdahulu mendapatkan ada dua subtipe HIV-1 yang beredar di Indonesia, Subtipe B dan CRF01_AE. Dengan mengetahui subtipe HIV-1 dapat membantu penelusuran arah epidemi dan memberikan informasi untuk merencanakan pencegahan HIV demikian juga memberikan informasi yang diperlukan dalam pembuatan vaksin. Oleh karena itu sangat penting dilakukan penelitian mengenai subtipe HIV di Indonesia.Rancangan penelitian adalah cross-sectional analytic yang dilakukan di Klinik Pelayanan AIDS di Denpasar, Bali dan Panti Rehabilitasi Narkoba di Bogor, Jawa Barat. Responden adalah odha dewasa yang memenuhi kriteria inklusi (odha dewasa dan bersedia ikut dalam penelitian) dan responden dipilih secara non probability sampling sampai memenuhi jumlah sampel yang dibutuhkan. Dengan memakai rumus 16.4 Sastroasmoro S. and Ismael S. (2002), jumlah sampel minimal dihitung sebesar 65. Untuk hipotesis 1, melihat perbedaan Subtipe HIV-1 dengan cara transmisi virus, analisis data menggunakan uji statistik Chi-Square. Untuk hipotesis 2, membandingkan Subtipe HIV-1 dengan derajat penyakit, analisis data menggunakan uji statistik Fisher’s Exact test, sedangkan untuk analisis data epidemiologi kasus dikerjakan secara deskriptif. Hasil disajikan dalam bentuk tabel, gambar pohon phylogenetic dan narasi.Dari penelitian ini didapatkan empat jenis subtipe di Indonesia, yaitu Subtipe B, CRF01_AE, C dan G (A/G). Semua pengguna narkotika suntik (penasun) terinfeksi oleh Subtipe CRF01_AE, dan hubungan ini terbukti secara statistic bermakna (Chi-square test with continuity correction value 7,951 p = 0,005) (Tabel 5.3.1). Subtipe HIV-1 tidak berhubungan secara bermakna dengan derajat penyakit, akan tetapi terdapat kecenderungan CRF01_AE mempunyai lebih banyak kasus dengan derajat penyakit berat dibandingkan dengan NonCRF01_AE. Prevalensi kasus dengan performance yang terganggu pada CRF01_AE adalah 30,3% sedangkan pada Non CRF01_AE 14,3%. Perbedaan ini secara statistic tidak bermakna (Fisher’s-Exact test p = 0,3445 (Tabel 5.11). Dari analisis Phylogenetic didapatkan bahwa transmisi HIV pada populasi risiko tinggi di Indonesia bersifat dinamis, dan epidemi yang terjadi tidak terpisah diantara populasi dengan faktor risiko yang berbeda.
Kesimpulan dari penelitian adalah: CRF01_AE merupakan subtipe yang paling banyak didapatkan dan tersebar disebagian besar wilayah. CRF01_AE didapatkan pada populasi penasun, heteroseksual, penjaja seks komersial dan pelanggannya. Karena prevalensi HIV pada penasun sangat tinggi, baik di Bali maupun daerah lainnya di Indonesia (50%), maka ada kemungkinan penasun merupakan episentrum epidemi HIV di Bali dan beberapa daerah di Indonesia, yang akan menyebar ke populasi umum melalui kelompok heteroseksual risiko tinggi yaitu PSK dan pelanggannya. Sedangkan Subtipe B, C dan G (AG) terdapat baik pada homoseks dan heteroseks, namun tidak ada penasun. Data tersebut didukung oleh gambaran pohon phylogenetic (Gambar 5.3). Pemakaian DBS dalam penelitian ini cukup praktis dan aman, walaupun keberhasilannya masih rendah (44,9%). Sekarang sudah ada kertas saring yang lebih baik dan sesuai untuk dipakai pada penelitian yang akan datang.Saran dari penelitian ini adalah, dalam program harm reduction bagi penasun hendaknya juga menekankan pemakaian kondom secara konsisten dengan pasangan seksualnya. Disamping itu disarankan perlunya melakukan pemeriksaan subtipe HIV secara periodik karena distribusi subtipe HIV bersifat dinamis.