RAGAM BAHASA PENUTUR PADA SATUA BALI BERMUATAN ISTANA SENTRIS

Abstract

Ragam bahasa adalah bentuk bahasa yang bervariasi menurut konteks pemakaian, umumnya berwujud lisan dan tulis. Penguasaan ragam bahasa ini sangat dibutuhkan oleh penutur dongeng (di Bali disebut satua) untuk dapat memberi gambaran akan kedudukan tokoh melalui variasi bahasa atau tingkat-tingkat pemakaian bahasa Bali yang digunakan. Sebagai tukang satua dituntut mampu menggunakan variasi bahasa Bali mengadaptasi tokoh yang diwakilinya menurut status sosial dan kedudukan tokoh tersebut. Ragam bahasa Bali yang digunakan penutur dongeng untuk menyebut diri tokoh termasuk bagian tubuh, hubungan sosial, ucapan, perbuatan dan hal lain terkait dengan tokoh tersebut disesuaikan dengan kedudukannya. Tokoh-tokoh dari kalangan istana atau ningrat (istilah Kersten disebut golongan atas) penyebutan terhadapnya menggunakan bahasa Bali alus, sebaliknya ragam bahasa untuk  menyebut kalangan masyarakat biasa sebagai golongan bawah menggunakan bahasa Bali kasar. Ragam bahasa Bali ini disebut sor singgih atau angggah unggguhing basa Bali yang secara umum dibagi menjadi bahasa Bali alus, madia, dan kasar. Ragam bahasa Bali banyak digunakan pada penceritaan satua yang bermuatan istana sentris karena menghadirkan tokoh-tokoh dari kaum ningrat atau kalangan istana sebagai golongan atas, dan tokoh masyarakat biasa lainnya disebut panjak/kaula sebagai golongan bawah. Cerita yang menjadi rujukan adalah dongeng Panji merupakan kisah yang berlatar belakang kerajaan di Jawa, seperti Jenggala/Koripan, Kediri/Daha, Gegelang dan kerajaan lainnya. Dongeng ini menandai kehidupan istana diadaptasi ke dalam kearifan lokal masyarakat Bali. Cerita berkisah antara dua tokoh sentral  Raden Mantri dari Koripan dengan Raden Galuh dari Daha dan tokoh punakawa  lainnya.