“Mekare-Kare” Wujud Ritualitas Keagamaan Desa Adat Tenganan Pegringsingan Sebagai Obyek Wisata dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat, Karangasem, Bali
Abstract
Tradisi ritus mekare-mekare diselenggarakan sekitar bulan Juni atau Juli yang berlandaskan pada awig-awig kalender kegiatan yang diberlakukan di desa setempat. Kegiatan ini rutin dilaksanakan setiap tahun sekali yang dirangkaikan dengan upacara ngusaba sebagai upacara korban suci tulus iklas (yadnya) kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahaesa) atas rahmat dan waranugrahaNya yang diberikan kepada seluruh ciptaannya di alam semesta ini. Ritual mekare-mekare dalam praktik tindakan agama sebagaimana diunkapkan oleh peneliti religi (Tylor, 1893; Marett, 1891; Lang, 1898; Frazer, 1910; Otto (1917); dan Evans-Pritchard (1984 mempunyai kemiripan dengan praktik religio-magic warisan kepercayaan masyarakat di masa lalu. Mengingat ritual ini masih berlakukan praktik-praktik ritual pemujaan terhadap hal-hal gaib, jiwa/roh nenek maoyang, dan kekuatan-kekuatan adikodrati yang tumbuh di masa lalu. Hingga kini, kekuatan-kekuatan adikodrati ini dianggap masih hidup dan berpengaruh dalam kehidupan ini. Fokus masalah pembahasan tulis, tidak menjelasan dan menjabarkan tentang ritus mekare-mekare tersebut lebih mendalam yang tergolong eksotik (unik) dalam kehidupan komunitas Desa Adat Tenganan Pegrinsingan. Namun, dalam konteks ini justru ritual itu menarik perhatian bagi masyarakat yang ada di luar komunitas tersebut. Oleh karena itu, ada dua pokok rumusan masalah yang dijabarkan dalam tulisan ini sebagai berikut: (1) Bagaimana prosesi ritus mekare-mekare sebagai obyek wasita manarik dikunjungi oleh wisatawan nusantara maupun wisatawan luar negeri (asing), dan (1) Bagaimana dampaknya terhadap komunitas kehidupan masyarakat setempat. Kedua masalah ini dikaji dengan pendekatan partial equivalence structure” (McKean, 1976: 139-145).