JMRT NEWS
NEWS LIST
1. Lamun, Potensi dan Ancamannya/07 Juli 2020
2. Memprediksi Perubahan Iklim/22 Juni 2020
3. Sampah Laut dimasa pandemi Covid19 di Indonesia: Tantangan dan Solusi/1 2 Juni 2020
4. APA ITU KARBON BIRU (BLUE CARBON)?/1 Juni 2020
5. REKREASI KE PANTAI Saat Wabah dan Pasca (Normal Baru) Covid19?/24 MEI 2020
Lamun, Potensi dan Ancamannya
Disarikan dari Webinar: JMRT Talk #2: Nature Based Solution for Climate Change Mitigation: Seagrass Their Potential and Threats/tanggal 02 Juli 2020
Oleh: Gede Surya Indrawan* dan I Nyoman Giri Putra*
07 Juli 2020
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya dapat menyesuaikan diri untuk dapat hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini mempunyai sifat yang memungkinkan untuk hidup di lingkungan laut, yaitu mampu hidup di media air asin, mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik, dan mampu melaksanakan reproduksi dalam keadaan terbenam. Secara umum, lamun dapat tumbuh pada substrat dasar seperti pasir, pasir berlumpur, dan pecahan karang mati (Sjafrie et al., 2018). Lamun dapat membentuk komunitas yang sangat lebat dan padat yang dikenal dengan padang lamun. Interaksi antar komponen padang lamun (abiotik dan biotik) akan membentuk suatu sistem ekologi padang lamun yang disebut ekositem lamun. Lamun umumnya membentuk komunitas yang luas di perairan laut namun masih dapat di jangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya.
Lamun mempunyai dua tipe vegetasi yaitu vegetasi campuran dan monospesifik. Vegetasi campuran adalah komunitas lamun yang terdiri dari beberapa spesies sedangkan vegetasi monospesifik hanya terdiri dari satu spesies. Padang lamun mempunyai fungsi secara ekologis dan nilai ekonomis yang sangat penting bagi manusia. Fungsi lamun antara lain: sumber utama produktivitas primer; pendaur zat hara; tempat berlindung bagi biota laut; tempat pengasuhan (nursery ground), perkembangbiakan (spawning ground), dan sumber makanan feeding ground) bagi biota-biota perairan laut; sebagai penangkap sedimen; penunjang sumberdaya perikanan; dan pelindung pantai dengan cara meredam arus (Sjafrie et al., 2018; Unsworth et al., 2018; Nordlund et al., 2017). Ekosistem lamun juga bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan ekonomi manusia seperti lamun dapat diolah menjadi makanan, pupuk, obat-obatan dan kerajinan tangan. Dr. Andreas A Hutahean dari Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi republic Indonesia dalam presentasinya yang mengkaitkan peran lamun dalam perubahan iklim, bahwa keberadaan ekosistem lamun akan menjadi sangat penting dan perlu diperhatikan karena lamun mempunyai fungsi ekologis yang baik terutama dalam penghasil oksigen dan mereduksi karbondioksida di dasar perairan. Ekosistem lamun berperan penting dalam penyerapan karbon di perairan yang biasanya disebut dengan blue carbon atau karbon biru. Blue carbon adalah karbon yang ditangkap oleh organisme hidup di ekosistem perairan pesisir sampai samudra melalui proses fotosintesis dan terakumulasi dalam biomassa (lamun, mangrove, alga, fitoplankton) dan sedimen.
Pesisir Indonesia yang kaya dengan ekosistem padang lamun berpotensi dalam mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim. Menurut Alongi et al (2015) ekosistem lamun dapat menyimpan sebanyak 119.5 Mg C ha -1 dan mengendapkannya dalam jaringan bagian lamun atau sedimen dalam waktu yang cukup lama, sehingga keberadaan lamun di bumi sangat diperlukan sebagai jasa dalam penyerapan karbon. Pemanfaatan blue carbon dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional, mata pencaharian, dan ketahanan masyarakat pesisir di Indonesia dengan konservasi terintegrasi dan pemanfaatan berkelanjutan jasa ekosistem pesisir dan kelautan. Selain itu untuk menghindari emisi gas rumah kaca, meningkatkan penyerapan karbon, dan meningkatkan peluang pendapatan alternatif.
Elok Faiqoh dari Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Udayana dalam presentasinya menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 16 jenis lamun yang terdiri dari 3 famili yaitu Hydrocharitaceae, Cymodoceaceae dan Ruppiaceae. Sementara itu, di Bali ditemukan 9 jenis lamun antara lain: Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule uninervis, H. pinifolia, Cymodocea serrulata, C. ratundata, Syringodium isoetifolium, dan Thallassodendron ciliatum. Ekosistem padang lamun juga menjadi habitat dan tempat mencari makan biota yang dilindungi seperi penyu dan dugong. Dengan demikian, konservasi ekosistem lamun secara tidak langsung juga akan melindungi biota-biota laut yang bergantung pada ekosistem tersebut. Meskipun ekosistem lamun memiliki peran ekologis yang begitu besar, degradasi ekosistem lamun juga terus-menerus terjadi di berbagai wilayah di dunia.
Mike Van Keulen dari Universitas Murdoch, Australia dalam presentasinya menyebutkan bahwa degradasi ekosistem lamun sebagian besar terjadi karena aktivitas manusia seperti pembangunan di daerah pantai, reklamasi, sedimentasi atau pedangkalan perairan, pencemaran perairan, penambatan kapal, aquacultur, budidaya rumput laut, kesalahan peletakan coral media transplan karang, dan pariwisata. Bila ekosistem lamun mengalami kerusakan akan berpengaruh terhadap organisme-organisme yang berasosisasi didalamnya dan pengurangan penyerapan karbon. Oleh sebab itu, diperlukan kerjasama dari seluruh pihak untuk menjaga ekosistem lamun secara berkelanjutan. Mari jaga ekosistem lamun karena ekosistem lamun merupakan penjaga laut kita.
*Materi Webinar dapat di unduh disini
*Penulis merupakan Dosen di Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Udayana
Memprediksi Perubahan Iklim
Oleh: Ida Bagus Mandhara Brasika*
22 Juni 2020
Istilah perubahan iklim tentu bukan hal yang baru kita dengar. Kejadian ini sering sekali dikaitkan dengan berbagai kejadian bencana seperti kebakaran yang besar, banjir bandang, angin kencang hingga gelombang panas yang semuanya memiliki efek mematikan. Meskipun demikian masih banyak pihak yang menyangsikan tentang perubahan iklim. Hal ini dikarenakan isu perubahan iklim selalu berkaitan dengan perlindungan alam dan lingkungan yang kerap sekali diartikan mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Atau setidaknya harus menggeser sistem ekonomi yang serba terpusat menjadi merata. Sebagai contoh perihal energi yang selama ini dikelola secara besar-besaran dan termonopoli segelintir orang, kini bisa bergeser ke penggunaan energi terbarukan yang bisa dibangkitkan dalam sekala kecil oleh tiap-tiap individu.
Dilain sisi para saintis terus menunjukan bahwa perubahan iklim sedang dan akan terus terjadi dan mengakibatkan kerusakan yang besar jika tidak dilakukan langkah-langkah pencegahan segera. Lalu bagaimana saintis bisa mengetahui hal ini?
Atmosfer atau lapisan udara diatas kita ini memiliki mekanisme yang sangat rumit. Dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dari revolusi dan rotasi bumi, komposisi darat dan laut yang tidak merata, jenis tutupan lahan hingga urusan buang hajat kita memiliki kontribusi terhadap cuaca dan iklim kita. Hal ini sering disebut dengan butterfly effect, dimana kepakan sayap kupu-kupu disuatu tempat bisa mengakibatkan badai ditempat lain. Sebuah gagasan yang menggambarkan rumitnya kondisi alam.
Oleh karena rumit dan luasnya atmosfer kita, para saintis berusaha menyederhanakan kondisi tersebut dengan membagi lapisan udara kita dalam balok-balok berukuran raksasa yang bertumpuk-tumpuk. Persis seperti tumpukan balok kayu ketika kita kecil atau tumpukan balok permainan Uno. Gagasan ini dicetuskan oleh peneliti bernama Vilhelm Bjerknes pada akhir abad ke-19 dengan cara memformulasikan bagaimana fluida dan panas mengalir. Hingga 50 tahun kemudian menjadi dasar dalam pemodelan iklim. Sampai saat ini pun pendekatan yang sama masih digunakan dalam pemodelan/simulasi iklim, namun dengan kapasitas komputer yang jauh lebih hebat.
Setiap balok raksasa yang kemudian di sebut dengan sel/cells itu digunakan untuk mensimulasikan bagaimana air, udara dan panas mengalir. Sehingga saintis dapat menggambarkan bagaimana kondisi didalam tiap sel berubah dan mempengaruhi sel lain.
Namun meskipun lapisan atmosfer sudah dibagi dalam ratusan ribu atau jutaan cell. Tetap saja setiap cell memiliki ukuran yang besar, yang saling terhubung satu sama lain dan membentuk sistem yang sangat besar. Sehingga model/simulasi masih sulit untuk menggambarkan fenomena-fenomena berskala kecil seperti tutupan awan. Padahal awan memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan energi yang diserap dan dipantulkan oleh alam. Tentu hal ini mempengaruhi keakuratan simulasi.
Meskipun pendekatan model yang terus dikembangkan memiliki kemampuan untuk menggambarkan berbagai kompleksitas fisis yang terjadi. Masih ada satu lagi faktor yang hampir tidak mungkin untuk bisa diprediksi dalam model iklim. Yaitu faktor Manusia. Apa yang akan dilakukan manusia dimasa mendatang dan bagaimana pengaruhnya terhadap alam adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Sekali lagi para peneliti berusaha menyederhanakan hal ini. Salah satunya dengan menggunakan skema berbagai scenario pertumbuhan ekonomi. Dilihat dari penggunaan energi, dari full menggunakan tenaga batu bara sampai skema jika beralih penuh ke energi terbarukan. Dari skema inilah peneliti dapat menggambarkan bagaimana kira-kira kondisi perubahan iklim dimasa yang akan mendatang.
*Penulis merupakan Peneliti Iklim di Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Udayana
Sampah Laut Dimasa Pandemi Covid19 di Indonesia: Tantangan dan Solusi
Disarikan dari Webinar: JMRT Talk: Sampah laut dimasa pandemi Covid19/tanggal 10 Juni 2020
Oleh: I Gede Hendrawan*
12 Juni 2020
Sampah laut merupakan segala material yang masuk ke laut baik dibuang secara sengaja maupun tidak disengaja, baik akibat bencana alam maupun secara alamiah. Sampah laut, utamanya sampah plastik yang mencemari lautan telah menjadi perhatian besar oleh semua pihak, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Pada tahun 2015 melalui penelitian yang dilakukan Oleh Jena Jambeck dkk dari Universitas Georgia menempatkan Indonesia pada posisi ke dua sebagai penyumbang sampah plastik terbesar ke laut setelah China. Dari penelitian tersebut, Indonesia mencatatkan1,29 juta ton/tahun sampah plastik masuk ke laut. Hasil penelitian yang dipublikasikan pada Jurnal Internasional Science tersebut seolah “membangunkan” pemerintah Indonesia dari tidur nyenyak terhadap permasalahan sampah plastik di wilayah maritime Indonesia. Melalui Peraturan Presiden No 83 Tahun 2018, Pemerintah Indonesia menetapkan Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah laut tahun 2018-2025. Melalui program tersebut, pemerintah Indonesia secara ambisius menargetkan untuk mengurangi sampah plastik ke laut sebesar 70% di tahun 2025. Rencana aksi nasional penanganan sampah plastik yang masuk ke laut dijabarkan menjadi lima strategi yaitu 1) Gerakan nasional peningkatan kesadaran para pemangku kepentingan; 2) Pengelolaan sampah yang bersumber dari darat; 3) Penanggulangan sampah di pesisir dan laut; 4) Mekanisme pendanaan, penguatan kelembagaan, pengawasan, dan penegakan hukum; dan 5) Penelitian dan pengembangan.
Rencana aksi nasional yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia mendapat sambutan positif dari berbagai pihak. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten di seluruh Indonesia menyambut dengan melakukan berbagai program dan kegiatan. Kampanye dan usaha meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengurangi pencemaran sampah plastik ke lingkungan dilakukan dengan beberapa kegiatan seperti program Beach clean up dan bahkan membuat payung hukum dalam bentuk peraturan yang dibaut di masing-masing daerah. Bahkan Pemerintah Kota Banjarmasin adalah kota pertama di Indonesia yang telah melarang penggunaan kantong plastik di toko-toko modern sebelum program pemerintah pusat ditetapkan. Program pengurangan plastik sekali pakai di Kota Banjarmasin kemudian di ikuti oleh beberapa kota di Indonesia seperti Balikpapan, Bogor, dan Denpasar. Pemerintah Provinsi Bali melalui peraturan Gubernur Bali telah menetapkan pelarangan 3 jenis plastik sekali pakai, yaitu kantong plastik, pipet plastik dan stryfoam yang secara efektif berlaku pada Bulan Juni 2019. Pemerintah DKI Jakarta melalui peraturan Gubernur akan menerapkan pelarangan plastik yang secara efektif akan berlaku mulai Juli 2020. Disisi lain organisasi masyarakat, komunitas, perguruan tinggi, sekolah melalui programnya masing-masing secara masif terus menggelorakan untuk mengurangi penggunaan plastik di Indonesia.
Usaha pemerintah dan masyarakat dalam mengurangi penggunaan plastik bukan tanpa hambatan, di tahun 2019 usaha tersebut mendapat perlawanan dari Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) dengan menggugat peraturan Gubernur Bali ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun usaha ADUPI menggagalkan usaha pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai seperti tercantum dalam peraturan Gubernur Bali gagal setelah MK tidak mengabulkan gugatan tersebut. Pemerintah pusat juga melakukan upaya dengan membangun kerjasama dengan pihak swasta/industri, NGO, komunitas dalam melakukan kampanye pengurangan penggunaan plastik sekali pakai. Pada tahun 2019 pemerintah Indonesia meluncurkan National Plastic Action Partnership (NPAP) yang merupakan bagian dari Global Plastic Action Partnership (GPAP) yang memiliki tujuan dalam menyatukan berbagai kepentingan dari stakeholder di Indonesia untuk mencapai target pengurangan sampah plastik ke laut sebesar 70% di tahun 2025, dan menjadikan Indonesia bebas polusi sampah plastik di tahun 2040. Untuk dapat mengukur capaian program yang dilaksanakan oleh seluruh stakeholder, pada bulan Desember tahun 2019 Pemerintah Indonesia mengumumkan data dasar sampah plastik yang masuk ke laut. Data dasar sampah plastik yang masuk kelaut telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dan mengacu pada perhitungan yang dilakukan oleh Bank Dunia bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu sebesar 0.59 juta ton/tahun. Angka tersebut kemudian akan menjadi acuan pemerintah untuk mengukur target capaian nantinya di tahun 2025.
Semangat seluruh komponen di Indonesia dalam berjuang untuk mengurangi ancaman sampah plastik terhadap lingkungan seolah-olah mendapat pukulan telak setelah Covid19 memporak porandakan tatanan kehidupan masyarakat di dunia, dan utamanya di Indonesia pada awal tahun 2020. Kebutuhan akan plastik untuk melindungi masyarakat dari ancaman Covid19 semakin meningkat, lebih-lebih kebutuhan akan Alat Perlindungan Diri (APD) bagi garda terdepan yaitu tenaga kesehatan. Bahan plastik menjadi penolong bagi tenaga kesehatan kita untuk tidak tertular dari Covid19 dalam menangani meningkatkan jumlah masyarakat yang terinfeksi virus ini. Kebutuhan masker bagi masyarakat terus meningkat, bahkan Kementerian Perindustrian memperkirakan kebutuhan masker di Indonesia mencapai hampir 162 juta pcs/bulan. Selain itu, penggunaan plastik dari sektor belanja online meningkat secara drastis, paling tidak dari data yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh LIPI di wilayah Jabodetabek pada masa WFH/PSBB meningkat sampai dua kali lipat dari sebelumnya. Sayangnya 96% pembungkus dari belanja online merupakan berbahan plastik. Penggunaan kantong plastik di masyarakat disinyalir juga mengalami peningkatan. Permakluman terhadap kondisi ini mungkin masih bisa diterima ditengah pandemic saat ini, namun pertanyaan besarnya adalah kemampuan infrastruktur persampahan kita dalam mengelola peningkatan jumlah sampah plastik dimasa pandemi Covid19 di Indonesia. Jika sampah medis, APD, sampah dari masker yang dugunakan oleh masyarakat, serta sampah plastik akibat peningkatan layanan belanja online tidak mampu terkelola dengan baik oleh masayarakat maupun infrastruktur yang tersedia, maka ancaman terhadap lingkungan akan semakin besar. Beban infrastruktur persampahan di Indonesia yang masih belum baik akan mendapat tekanan yang lebih besar dimasa wabah Covid19 ini.
Ketidakmampuan masyarakat dalam mengelola sampah di masa pandemi serta lemahnya infrastruktur persampahan akan berpotensi untuk meningkatkan pencemaran sampah plastik ke lingkungan. Sampah plastik dari aktifitas didarat akan dapat terbawa oleh angin, hujan, dan sungai yang akhirnya terbawa ke pesisir dan laut. Untuk dapat meminimalisir tercemarnya lingkungan pesisir dan laut dari ancaman peningkatan sampah plastik, maka akan dibutuhkan usaha dini dalam pencegahan berakhirnya sampah di laut. Pemerintah dan masyarakat harus dapat mencegah masuknya sampah yang ada di lingkungan masuk ke perairan laut, terutama ketika akan memasuki musim penghujan di akhir tahun 2020. Program beach clean up ataupun River clean up akan sangat dibutuhkan untuk dapat meminimalisir aliran sampah dari darat menuju laut. Pencegahan masuknya sampah plastik ke laut dibutuhkan dalam upaya melakukan mitigasi terganggunya ekosistem pesisir dan laut dari ancaman sampah plastik.
Pembuatan model pergerakan sampah laut akan sangat dibutuhkan untuk dapat mengetahui pergerakan sampah di laut sehingga usaha mitigasi dari pergerakan sampah masuk ke ekosistem/habitat penting seperti terumbu karang dan sumberdaya perikanan lainnya dapat dilakukan. Usaha bersama antara pemerintah. akademisi, komunitas, serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk tetap mengkampanyekan pengurangan penggunaan plastik dalam aktifitas sehari-hari, namun tetap mengikuti protokol kesehatan di masa pandemi Covid19. Jika penggunaan plastik tidak dapat dihindari, maka pengelolaan sampah plastik harus dilakukan dengan baik sehingga kebocoran sampah plastik ke lingkungan akan dapat dihindari. Dibutuhkan komitmen bersama di masa pandemi Covid19 untuk selalu berusaha dalam mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan memastikan pengelolaan yang baik oleh individu dan pemerintah. Kampanye di masa pandemi masih tetap harus dilakukan untuk selalu mengingatkan masyarakat untuk menghindari bencana lain setelah wabah Covid19 ini berakhir. Jangan sampai usaha untuk menghindari wabah Covid19, justru menimbulkan potensi bencana yang lebih besar dimasa yang akan datang. Menjaga lingkungan dari pencemaran merupakan salah satu usaha kita dalam menghindari wabah penyakit yang mungkin dapat terjadi dimasa yang akan datang. Mari sambut new normal dengan kondisi lingkungan yang lebih sehat.
*Materi Webinar dapat di unduh disini
*Penulis merupakan Peneliti sampah laut dari Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Udayana
APA ITU KARBON BIRU (BLUE CARBON)?
Oleh: I Gede Hendrawan
1 Juni 2020
Pernahkah diantara kita mendengar istilah Karbon Biru? Mungkin tidak banyak dari kita yang mengetahui istilah karbon biru, akan tetapi sepertinya kita sudah banyak tau tentang karbon biru namun tidak pernah menyadarinya.
Revolusi Industri telah mengubah tatanan kehidupan manusia yang dimulai pada periode antara tahun 1750-1850. Telah terjadi perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi. Aktivitas manusia pasca revolusi industri telah meningkatkan penggunaan bahan bakar minyak yang kemudian melepaskan karbon dioksida (CO2) ke atmosfer. Tingginya konsentrasi CO2 ke atmosfer telah berdampak pada meningktanya suhu permukaan bumi akibat dari efek rumah kaca. Apa yang mungkin tidak banyak diketahui oleh kita adalah bahwa lautan dan pantai/pesisir telah menyediakan cara alami untuk mengurangi dampak gas rumah kaca di atmosfer, yaitu melalui penyerapan karbon oleh ekosistem pesisir dan laut.
Karbon biru merupakan istilah untuk karbon yang diserap oleh ekosistem laut dan pesisir. Rumput laut, hutan mangrove, dan Padang lamun yang ada di sepanjang pesisir kita dapat "menangkap dan menahan" karbon. Ekosistem pesisir dan laut bertindak sebagai penyerap karbon yang sangat baik, dan menyerap karbon dengan kecepatan yang jauh lebih cepat daripada hutan di daerah teresterial. Sebagian besar karbon yang diserap oleh ekosistem ini disimpan di bawah tanah di mana kita tidak bisa melihatnya.
Salah satu gambaran besar terkait Ladang karbon biru adalah kawasan konservasi perairan. Ketika sebagian besar ekosistem ini rusak, maka sejumlah besar karbon akan dilepaskan kembali ke atmosfer, dan kemudian dapat berkontribusi terhadap perubahan iklim. Jadi melindungi dan memulihkan habitat pesisir dan laut adalah cara yang baik untuk mengurangi perubahan iklim. Ketika kita memberikan kesempatan karbon untuk diserap dalam ekosistem pesisir dan laut, maka kita sebenarnya juga sedang melindungi lingkungan pesisir dan laut untuk tetap sehat, sehingga akan dapat memberikan banyak manfaat lain bagi masyarakat, seperti pengembangan pariwisata, mitigasi bencana, dan menjaga keberlangsungan sumber perikanan.
Indonesia merupakan salah satu negara maritim yang memiliki keanekaragaman hayatai terbesar di dunia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang nomor 2 (dua) di dunia dengan panjang 99.093 km. Pada tahun 2018, telah terbangun 177 kawasan konservasi perairan dengan luasan mencapai 20,88 juta Ha(6,42 % dari luas laut) di seluruh Indonesia. Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yaitu sebesar 3,49 juta hektar (20% luas mangrove dunia), namun sayangnya 1,8 juta hektar dalam kondisi rusak. Sementara luas padang lamun di Indonesia sebesar 290 ribu hektar dan merupakan terluas di wilayah Asia Tenggara. Potensi besar hutan mangrove dan padang lamun yang dimiliki oleh Indonesia akan memberikan peranan penting dalam menekan laju pemanasan global. Indonesia akan menjadi ladang karbon biru terbesar di dunia untuk menyelamatkan bumi dari dampak buruk pemanasan global. Masyarakat, pemerintah, dan seluruh komponen yang berkempetingan terhadap wilayah pesisir dan laut harus dapat menempatkan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan sebagai prioritas utama. Kondisi ini akan dapat memulihkan ekosistem psisir dan laut menjadi lebih baik, sehingga dapat berperan optimal sebagai ladang karbon biru serta memberikan dampak yang baik untuk kesejahteraan masyarakat.
Bali memiliki hutan mangrove seluas 1200 hektar lebih yang tersebar di beberapa wilayah seperti Tahura Ngurah Rai, Perancak, Gilimanuk, serta di wilayah Nusa Lembongan. Peran ekosistem mangrove di Perancak, Bali telah di teliti oleh Indraiswari et al (2018) dan menemukan struktur konsentrasi karbon yang bervariasi terhadap kedalaman. Sementara ekosistem padang lamun juga ditemukan di beberapa wilayah di pesisir Bali seperti di wilayah Serangan, Nusa dua, Sanur, Taman nasional Bali Barat, dan beberapa daerah lainnya. Penelitian oleh Lestari et al (2020) menunjukkan peran substrat padang lamun di wilayah TNBB Gilimanuk yang cukup besar dalam menyerap karbon. Sebagai sebuah pulau kecil dan memiliki wilayah pesisir dengan ekosistem yang cukup lengkap, ekosistem pesisir Bali tentunya diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengurangi karbon di atmosfer dan sekaligus dapat bermanfaat bagi aktifitas di sektor perikanan dan pariwisata. Dengan telah ditetapkannya serta dicadangkannya beberapa kawasan konservasi perairan (KKP) di Prov. Bali, maka masyarakat dan pemerintah Prov. Bali menaruh harapan besar KKP tersebut akan dapat menjadi ladang karbon biru di Bali, serta menjaga kelestarian lingkungan pesisir
REKREASI KE PANTAI Saat Wabah dan Pasca (Normal Baru) Covid19?
24 MEI 2020
Meningkatnya jumlah kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia, data tanggal 24 Mei 2020 dari gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 yaitu terkonfirmasi positif 22.271, dengan jumlah kematian berjumlah 1372. Data tersebut memberikan peringatan kepada kita semua, bahwa tetap tinggal dirumah, menjaga jarak (physical distancing), serta pembatasan sosial (social distancing) harus tetap dilakukan. Pemerintah Indonesia telah berulang kali melakukan himbuan kepada masyarakat untuk selalu berlaku hidup sehat, yaitu selalu mencuci tangan dengan sabun, menggunakan masker, menjaga jarak, dan melakukan pembatasan social. Di Indonesia penerapannya masih sangat lemah. Masih banyak ditemukan masyarakat yang berkunjung ke tempat-tempat umum seperti mal, pasar, supermarket serta masih banyak masyarakat yang tidak mengindahkan anjuran pemerintah untuk berlaku hidup sehat. Di sisi yang lain kebutuhan masyarakat untuk tetap berkerja tidak bisa dihindari, masyarakat masih harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
WISATA PANTAI: Sebagian masyarakat masih bertanya-tanya, apakah berwisata di pantai akan meningkatkan risiko tertular Covid19? Hampir sebagian besar pantai-pantai di Indonesia sudah sepi dari kunjungan wisatawan, ada yang memang karena menghindari penyebaran Covid-19, atau bahkan sebagian wilayah/otoritas pantai di Indonesia telah melarang masyarakat/wisatawan untuk berkunjung ke pantai seperti beberapa pantai di Bali.
MENGETAHUI COVID-19: Studi menunjukkan bahwa droplet yang mengandung virus Covid-19 dapat berada di udara berupa aerosol dan beberapa permukaan benda dalam periode yang cukup lama, terutama pada permukaan yang keras seperti plastik dan logam. Jika seseorang menyentuh bendah yang telah terkontaminasi virus dengan tangan dan kemudian menyentuh mulut, hidung dan mata maka orang tersebut akan dapat terinfeksi virus. Oleh karena itu, jika ada pengunjung pantai yang telah terinfeksi Covid-19 dan selanjutnya orang tersebut batuk dan bersin, yang selanjutnya droplet mengenai fasilitas umum seperti toilet, warung, dan benda-benda lainnya akan berpotensi sebagai perantara untuk menginfeksi orang lain yang berada di tempat tersebut. Namun pada posisi saat ini, belum ada literatur yang tersedia tentang apakah pasir yang terkontaminasi akan menjadi media penularan. Demikian halnya denga air laut, sampai saat ini masih belum ditemukan informasi terkait keberadaan virus Covid-19 pada air laut, sehingga belum jelas terkait keamanan apakah mandi di pantai akan meningkatkan risiko terinfeksi Covid-19.
ISSUE yang lain adalah masuknya limbah rumah tangga, hotel dan restaurant ke badan air dan akhirnya bermuara di pantai. Limbah yang telah melewati proses pengolahan dengan cara sterilisasi menggunakan chlorine dan jenis disinfektan lainnya diharapkan akan dapat menghilangkan keberadaan virus pada limbah. Namun di Indonesia pada umumnya limbah rumah tangga tidak diolah sebelum dibuang ke lingkungan, sebagian besar penduduk masih membuang limbah rumah tangga secara langsung ke lingkungan (badan air seperti sungai), sehingga apakah ini akan dapat meningkatkan risiko dalam penyebaran virus Covid-19? sampai saat ini masih belum ditemukan penelitian terkait hal tersebut. Namun demikian EPA mengingatkan penduduk di USA untuk hanya membuang tisu toilet melalui aliran kamar mandi, dan yang lainnya di buang di tempat sampah.
BAGAIMANA memulihkan ekonomi dari sektor pariwisata Indonesia setelah berdamai dengan Covid19? Pantai merupakan salah satu objek wisata yang memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi di Indonesia. Industri pariwisata Indonesia menyumbang sebesar US$ 19,29 milar atau setara dengan Rp.270 triliun lebih di tahun 2018, dan terbukti telah mampu menggerakkan ekonomi kerakyatan. Namun pemerintah maupun pelaku usaha tidak ingin mengambil risiko penyebaran yang tidak terkontrol akibat dibukanya objek wisata pantai. Mengingat masih banyaknya ketidak pastian terkait dengan keberadaan virus Covid-19, terutama perilaku virus di perairan, pasir pantai, air laut, dan air limbah tentunya akan meningkatkan risiko yang berpotensi akan mentransmisikan virus Covid-19 kepada masyarakat. Oleh sebab itu, membuka fasilitas rekreasi di pantai saat ini akan dapat meningkatkan risiko masyarakat terinfeksi Covid-19. Menutup sementara objek wisata pantai merupakan keputusan yang sangat tepat saat ini. Hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa membuka ruang untuk membuka objek wisata di pantai akan menempatkan risiko yang tinggi untuk tertular Covid-19 dibandingkan dengan tetap tinggal dirumah (melakukan isolasi mandiri).
KAPAN OBJEK wisata pantai sebaiknya dibuka? Penilaian secara menyeluruh terkait kualitas perairan dan keberadaan virus Covid-19 pada beberapa perairan pantai menjadi sangat penting. Jika virus Covid-19 terbukti tidak mengkontaminasi air laut, maka akan dapat mempermudah pengelolaan objek wisata pantai terkait dengan penyebaran Covid-19. Namun demikian, protokol di objek wisata pantai, khususnya menjaga jarak dan berlaku hidup sehat dengan mencuci tangan tetap harus dilakukan.
TETAP BERPERILAKU HIDUP SEHAT
1. Mencuci tangan dengan benar dan sesering mungkin setelah melakukan aktifitas
2. Jika tidak ada sabun dan air, gunakan hand sanitizer
3. Tidak menyentuh hidung, mulut, dan mata kita
4. Membersihkan permukaan benda-benda sekitar dengan disinfektan
5. Tinggal di rumah saat sakit, maupun jika anda merasa sehat
6. Melakukan phisical distancing dan Social distancing
7. Jika tetap harus ke pantai untuk urusan tertentu, Selalu mematuhi himbauan pemerintah dan memastikan kualitas air dalam kondisi baik
TIM REDAKSI JMRT