PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIVE SEBAGAI PEDOMAN PENUNTUT UMUM DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai pedoman bagi penuntut umum dalam menyelesaikan perkara pidana. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, filsafat, dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip keadilan restoratif dalam peraturan tersebut dapat menjadi dasar penghentian penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Namun, norma tersebut masih terbatas karena hanya mengatur alasan-alasan penghentian yang bersifat formal, seperti tidak cukup bukti, bukan tindak pidana, atau perkara harus ditutup demi hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 76, 77, dan 78 KUHP lama, yang kini telah termuat kembali dalam Pasal 132, 134, dan 136 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Hal ini menandakan adanya arah pembaruan hukum pidana nasional yang lebih sistematis dan progresif. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformulasi terhadap Pasal 140 ayat (2) KUHAP dengan menambahkan dasar penghentian penuntutan karena tercapainya kesepakatan damai antara pelaku dan korban. Reformulasi ini penting untuk memperkuat legalitas keadilan restoratif, memperluas diskresi jaksa, mengurangi beban perkara, serta mendorong sistem peradilan pidana yang lebih humanis, adaptif, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan serta keadilan sosial.

This study aims to examine the Attorney General Regulation Number 15 of 2020 concerning the Termination of Prosecution Based on Restorative Justice as a guideline for public prosecutors in resolving criminal cases. The research adopts a normative legal method using statutory, philosophical, and conceptual approaches. The findings indicate that the principle of restorative justice embedded in the regulation can serve as a basis for terminating prosecution as referred to in Article 140 paragraph (2) of the Indonesian Criminal Procedure Code (KUHAP). However, the current provision remains limited, as it only regulates formal grounds for termination, such as insufficient evidence, the act not constituting a criminal offense, or the case being closed by law. These grounds are stipulated in Articles 76, 77, and 78 of the old Criminal Code (KUHP), which have now been reaffirmed in Articles 132, 134, and 136 of Law Number 1 of 2023. This reflects a more systematic and progressive direction in national criminal law reform. Therefore, it is necessary to reformulate Article 140 paragraph (2) of KUHAP by adding an explicit basis for termination of prosecution through a peace agreement between the offender and the victim. Such reformulation is essential to strengthen the legal basis for restorative justice, expand prosecutorial discretion, reduce case burdens, and promote a more humanistic, adaptive criminal justice system that upholds humanitarian values and social justice.