EDITORIAL

  • Gusti Ayu Made Suartika Program Magister Arsitektur Uni versitas Udayana

Abstract

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization-WHO) di dalam laporannya di tahun 2014 mencatat bahwa di tahun 2012 penyakit kanker telah menjadi penyebab kematian dari 8.2 juta orang. Angka ini kemungkinan jauh lebih rendah dari kenyataannya, mengingat pelayanan medis belum menjangkau sebagian besar penduduk dunia. Berjuta-juta kasus kemungkinan juga tidak terdata keberadaannya. WHO juga merekam adanya 14 juta penderita kanker di tahun yang sama. Jumlah ini diprediksi akan meningkat 70 persen dalam kurun waktu dua puluh tahun ke depan. Organisasi ini tidak bisa menggambarkan bagaimana berbahayanya penyakit ini. Kanker adalah salah satu penyakit yang kompleks yang diinisiasi oleh terjadinya kontak antara tubuh manusia dengan beragam wujud karsinogen (racun), yang mungkin saja terjadi secara alamiah, melalui makanan, atau karena kebiasaan yang menjadi pilihan seseorang secara pribadi, seperti misalnya merokok. Menurut WHO, kontak manusia dengan karsinogen bisa terjadi secara langsung maupun tidak langsung, dalam wujud interaksi fisik (sinar ultraviolet), kimia (zat kimia dalam asap rokok), dan biologis (virus).

Walau kita tidak bisa menunjukan penyebab tunggal terjadinya kanker, kontak seseorang dengan bahan atau zat beracun berkaitan erat dengan kualitas lingkungan dimana yang bersangkutan tinggal. Ini menyiratkan bahwa lingkungan harus direncanakan serta dibangun berdasarkan strategi yang berorientasikan pada ide ''anti-kanker.' Sikap ini wajib diambil sebagai bagian penting dari keseluruhan perubahan yang seyogyanya dilaksanakan terhadap lingkungan binaan. Kebijakan dan parktek yang bernafaskan konsepsi ini harus dilaksanakan secara simultan dalam setiap kesempatan dan pada setiap elemen kota. Komponen spasial yang paling penting diperhatikan pada konteks ini termasuk lingkungan perumahan; ruang-ruang kecil dimana kita memarkir kendaraan; taman-taman kota dimana kita memanfaatkan waktu bersama keluarga di akhir pekan; jalan yang kita lewati dalam keseharian; infrastruktur sosial dimana kita berada untuk berbagai kepentingan; ruang publik dimana penduduk kota berinteraksi sebagai sebuah kesatuan komunitas.

Bebargai bahaya akan muncul ketika pemanfaatan lingkungan binaan (baik yg ditata maupun tidak), bersama dengan pola tingkah laku warga masyarakat perkotaan, telah memaksa kita menghirup udara yang terpolusi; meminum air yang terkontaminasi; menderita karena taman-taman kota telah disusupi kendaraan bermotor yang menyebabkan terbuangnya gas finil hidrocarbon ke dalam taman. Ruang terbuka ini seharusnya terbebas dari segala wujud gas beracun; meminum air tanah yang dikontaminasi oleh polutan yang dibuang secara sembarangan oleh beragam industri. Kontaminasi ini juga telah merambah ke air yang dimanfaatkan untuk produksi bahan pangan yang kita konsumsi dalam keseharian.

Namun, tidak bisa dipungkiri jika keberadaan penyakit kanker pada tubuh seseorang juga tergantung dari gaya hidup yang dijalaninya. Ini berkaitan dengan bagaimana dan kapan kita makan; bagaimana pola istirahat (tidur) yang dimiliki; bagaimana seseorang mengontrol kondisi kesehatan psikologisnya; bagaimana kita bergerak dari satu tempat ke tempat satunya, dan lain-lain. Tetapi ketika kita berkeinginan untuk menangani permasalahan ini secara benar dari kaca mata pengaturan lingkungan binaan, kita harus mempertanyakan "Bisakah perencanaan berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang sehat?" Jika jawabannya adalah "ya," maka metode analisis, kebijakan, cara implementasi dan pengendaliannya, juga harus ditetapkan, jika memang belum ada. Dalam teorinya perencanaan didedikasikan untuk kebaikan masyarakat yang diaturnya, termasuk status kesehatan mereka. Namun di dalam prakteknya, kita harus awas, karena perencanaan merupakan sebuah mekanisme kenegaraan yang kemunculannya seringkali merupakan hasil koalisi dengan para pemilik modal. Seperti diketahui bersama, bisnis (kepentingan ekonomi) lebih sering keluar sebagai pemenang dibanding kebutuhan orang banyak. Namun ketika lingkungan tercemari, bisa dipastikan jika perencanaan memiliki peran serta tanggung jawab yang mutlak.

Atau secara gamblang bisa dinyatakan perencanaan tidak melakukan tugas yang seharusnya diembannya. Situasi ini bisa disebabkan oleh beragam alasan, misalnya kurangnya sumber daya finansial; praktek-praktek korupsi dalam proses pengeluaran ijin membangun ataupun ijin operasional lainnya; minimnya pengaturan serta pengendalian; absennya pengaturan densitas (kepadatan) di daerah; tata aturan zonasi yang selalu memberi peluang untuk negosiasi dan tawar-menawar; tidak tepatnya kebijakan yang diberlakukan; tidak adanya perhatian terhadap praktek-praktek perencanaan yang sudah dibuktikan keberhasilannya dan sudah diterapkan di level gobal. Perlu juga dipahami disini jika masyarakat bukan selalu objek pasif. Mereka memiliki pilihan dan bisa memilih. Apakah mereka memilih untuk mengekspose dirinya terhadap beragam polutan? Atau kemungkinan sebagian dari mereka memang tidak memiliki pilihan, selain menerima polusi lingkungan sebagai bagian dari kehidupan kesehariannya. Atau kelompok yang lain lagi memutuskan untuk membuat pilihan, bagaimana berhadapan dengan polutan serta menghindari interaksi dengan cara apapun.

Berbagai kota di dunia telah memberi perhatian besar terhadap pembangunan lingkungan yang sehat. Sikap ini secara mendasar merupakan langkah yang tepat, termasuk juga jika dikaji dari perspektif bisnis (ekonomi). Transportasi yang bersih dan efisien serta perencanaan yang sudah mapan, selain berdampak positif terhadap elemen-elemen kota juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, di negara-negara maju, pola pendekatan semacam ini telah diakomodasi sebagai elemen esensial dan diterima sebagai bagian dari kebijakan perencanaan, serta diprioritaskan sebelum pertimbangan-pertimbangan lainnya. Proses globalisasi yang telah menjadi motor kemunculan dari ‘informational class of labour’ (Castells) atau yang disebut sebagai the 'creative class’ oleh Richard Florida, telah secara jelas mengindikasikan ke kita bahwa kota-kota yang memberi perhatian terhadap lingkungan dan pelestarian kebudayaan menunjukan kesusksesan dalam pembangunannya, sedangkan yang tidak melakukannya berada pada posisi yang sebaliknya. Tidak ada satupun orang di muka bumi ini yang berkeinginan bekerja di lingkungan yang kotor dan terpolusi. Jika sebuah satuan kedaerahan mencanangkan untuk mengundang para pekerja yang berkulitas, rencana ini akan sangat tergantung dari tersedianya lingkungan yang berkualitas, selain adanya proses branding yang menjadi bagian penting dalam berkompetisi di dunia global.

Dalam hal ini, beragam pertimbangan penting yang akan berpengaruh, seperti misalnya: dimanakah funsi-fungsi industri akan ditempatkan sehingga karsinogen yang diproduksi akan diserap secara internal dan tidak dibuang ke tanah, udara, dan air yang menjadi sumber kehidupan bagi kita semua?; dimanakah rumah masa dpean akan dilokasikan?; dimana infrastruktur sosial: rumah sakit, sekolah, kantor-kantor publik, dan lain-lain akan direncanakan?; Kapankah pengaturan dan pengendalian kendaraan bermotor akan diimplementasikan, seperti halnya yang sudah diterapkan di berbagai kota di dunia?; Kapankah tata aturan di jalan raya, pemanfaatan jalan raya oleh para pengendara dengan cara yang seolah-olah tidak ada aturan, parkir yang tidak terkontrol, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya akan dikendalikan seperti halnya proses pengecekan surat ijin mengemudi?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas tidak hanya berkenaan dengan pembangunan serta penataan keruangan fisik semata, tetapi membutuhkan perencanaan yang inklusif yang juga secara bersamaan merangkul pendekatan tingkah laku. Konsepsi terakhir ini sangatlah penting karena kualitas sebuah tempat tidak bisa dipisahkan, baik dari gaya hidup masyarakat lokal yang diakmodasinya maupun komunitas internasional yang menjadi salah satu faktor penentu, khususnya dalam peran mereka sebagai penyedia sumber daya finansial dan investasi. Selain itu, perencanaan semacam ini tidak bisa jika hanya difokuskan pada usaha pengimplementasian pemerintahan kota yang ketat, tetapi juga perlu diatur secara hukum. Dengan kata lain, mekanismenya harus dilengkapi dengan sanksi-sanksi yang jelas, bagaiman pelanggaran yang kemungkinan terjadi akan ditindak. Semua proposisi yang diajukan disini bersifat nyata dan sangat memungkinkan untuk dilaksanakan, dan bukan sesuatu yang hanya bisa digambarkan sebagai angan-angan semata.

Dalam edisi Jurnal Ruang-Space ini, dipublikasi 7 artikel. Artikel pertama oleh Wahyudi Arimbawa, yang membicarakan tentang peranan yang berpotensi untuk diampu oleh desa adat dalam mengendalikan pemanfaatan lahan di Desa Jatiluwih. Tujuan akhir studi adalah membangun sistem pengelolaan tataguna lahan untuk desa ini. Artikel kedua ditulis oleh Anak Agung Gde Sutrisna, yang mengevaluasi bagaimana bhisama kesucian pura - kebijakan lokal yang mengatur pembangunan di zona lindung di sekitar pura - telah dilanggar, khususnya dalam kasus Pura Dang Kahyangan di area pariwisata Kuta Selatan, Kabupaten Badung-Bali. Artikel ini juga menginvestigasi dampak positif dan negatif dari beragam pelanggaran yang terjadi. Artikel ketiga disusun oleh Anak Agung Aritama, yang mendiskusikan keberadaan media penanda yang tidak terkendalikan dan telah merusak image kota, seperti yang terjadi di sepanjang Koridor Jalan Hayam Wuruk, Kota Denpasar. Artikel ini fokus pada pemahaman faktor-faktor yang berkontribusi dalam pemunculan permasalahan ini.

Artikel keempat disusun oleh Agus Dharmaputra, yang berjalan beriringan dengan ide pengaturan pembangunan fungsi komersial di kota. Sebagai langkah awal, artikel ini menstudi beragam pertimbangan yang diterapkan sebelum lokasi sebuah minimarket (studi kasus yang diambil)- bisa difinalisasi oleh pelaku bisnis, dan juga sebelum berkas ijin mendirikan bangunan diajukan ke pemerintah. Artikel kelima ditulis oleh Doddy Kastamayasa, sebuah studi tentang layout keruangan Banjar Ujung, sebuah kampung nelayan yang terletak di Kabupaten Karangasem, bagian timur Bali, pasca diterpanya komunitas ini oleh beragam bencana alam. Permukiman ini telah mengalami kerusakan, dampak dari meletusnya Gunung Agung di tahun 1963, dan bencana erosi serta abrasi dalam kurun waktu tiga tahun, dari tahun 1997 sampai dengan 1999.

Artikel keenam ditulis oleh Anak Agung Mahendra berkenaan dengan konservasi ruang publik, salah satu potensi pengembangan industri kepariwisataan di Desa Kendran, Kabupaten Gianyar. Desa ini ditunjuk sebagai salah satu destinasi wisata desa, proposisi yang disambut dengan antusiasme tinggi oleh Kabupaten Gianyar. Artikel terakhir disusun oleh Ngakan Juliastika, yang mendiskusikan tentang permasalahan terkait pembangunan perumahan oleh para pengembang, dengan memprioritaskan keuntungan ekonomi di atas konformansi terhadap tata aturan yang ada. Beranjak dari situasi ini, penulis merangkum tujuh set strategi penting yang telah diterapkan oleh para pengembang, dan diimplementasikan dalam tujuh kasus pembangunan perumahan yang berbeda.

 

In its 2014 report, the World Health Organisation (WHO) stated that cancers had been responsible for the death of 8.2 million people in 2012. This is probably a massive underestimation, since poverty and medical services are not available to a multitude of people. Millions of cases therefore are likely to go unrecorded. There were 14 million new cases encountered in the same year. This United Nations Agency cannot see this figure reducing any time soon. The number is instead forecast to climb by 70% in twenty years time. While this agency cannot sufficiently stress how life threathening cancer is, nonetheless it is a complex medical condition whose origin can be traced to human exposure to carcinogens, some environmental, some dietary, and some self inflicted such as smoking. In its report, the WHO states that cancer is a result of an excessive exposure to three forms of poisons, both directly and indirectly, including physical, chemical and biological carcinogens.

While one cannot determine a singular cause, human contact with those carcinogens is undoubtedly associated with the quality of the environment people inhabit. This implies at least in part, that any environmentally generated cancers must be addressed and overcome by incorporating anti-cancer strategies. These represent essential practice as part of the totality of existing and planned changes to the built environment. Both policies and practices should be rigorously implemented at all scales and urban forms. This of course includes most importantly the immediate environment of housing –the ancillary spaces where we park our cars; spend our family time over the weekend; the roads we commute on daily, the social infrastructures we inhabit for various reasons, and the public spaces where we interact with other members of the community.

The danger begins when the organisation of this living environment, together with the patterns of individual behaviour associated with it, forces us to breath polluted air; to drink contaminated water; to suffer the encroachment into public parks by vehicles contributing cancerous phenyl-hydrocarbons into the very spaces people go to avoid them; having to drink groundwater contaminated by the pollution of the earth by industry, and hence the very water deployed in the processes of food production.

There is no doubt that cancer is to a large extent dependent upon the life style we choose. How and when we eat, how we sleep, how we manage our psychological state, how we move around etc. But in order to address the problem correctly from an environmental standpoint, we must consider the question "can planning contribute to the creation of a healthy living environment?'' If so, what methods of analysis, policy, implementation, and policing should be set in place, if these are not in place already? In theory, planning works for the good of the people, including preserving their health. In practice we must retain a healthy dose of suspicion, since planning is a servo mechanism of the state, and in most instances the state works for private capital. So business usually triumphs in the face of the popular demands of the people. But when the environment becomes polluted it is unquestionable that planning plays a significant role by default.

Bluntly stated it is not doing what it is supposed to do. This situation has many causes – lack of funding, corrupt practices that are always associated with development permissions, inadequate legislation, the absence of appropriate density controls, negotiable zoning regulation, improper policing, or simply ignorance of contemporary planning practices and global best practice. Nevertheless, people are not always passive victims. They also make choices as to whether or not they expose themselves to pollutants. Some may have no other option but to accept environmental pollution as part of their daily life. Others however may make choices as to how to deal with it, and avoid exposure at all cost.

Many cities have placed a great stress on the creation of a healthy living environment. Paradoxically, this is also good for business since clean and efficient transport and a highly regulated planning system are good for everyone. The idea is now adopted as an essential and accepted part of  planning policies and given priority over many other considerations in the developed world. The processes of globalisation and the rise of an ‘informational class of labour’ (Castells) or what Richard Florida calls ‘the Ceative Class’ has demonstrated without a doubt that those cities that stress environment and cultural services succeed where others fail. Nobody wants to work in a polluted and filthy environment. So attracting high quality workers is highly dependent on the production of a high quality environment and the branding process now essential to urban competition.

In this context many concerns come to the force, such as: where are all types of industry to be located in order to guarantee that the carcinogens they produce will be internally absorbed and not dumped into the land, air or water that nourish us? Where are future homes to be located ? Where should the social infrastructure: schools, hospitals, public offices, etc be planned? How should existing planning standards be upgraded to accommodate new open spaces and to compenstate for the incredible current lack of provision for the populace? When will the proper policing and management of motor vehicles be implemented as it is in countless other cities? When will the implementation of road rules, reckless driving, uncontrolled parking and other offences be given equal status to checking driving licenses?

The answer however is not merely a matter of establishing a sound physical and spatial plan, but rather an inclusive one embracing human behavioural approaches all together. The latter is of paramount importance as the quality of a place cannot be disconnected either from the lifestyles of the community it accommodates or the international community it depends on for finance and investment. How such necessary planning should be imposed not only implies more rigorous urban governance, but the proper and extensive application of the laws that exist today. None of the above is imaginary.

In this issue of Ruang-Space Journal 7 articles are published. The first one is by Wahyudi Arimbawa. It talks about the potential roled played by the desa adat institution in controlling land utilization in Jatiluwih Village. The final objective of this study is to develop a system of land use management for this village. The second article is written by Anak Agung Gde Sutrisna. This research evaluates how the bhisama kesucian pura - local guidelines for development within the protective zone surrounding a temple - has been violated, especially in the case of Dang Kahyangan temples located in a touristy area of South Kuta District, Badung Regency-Bali. This article also investigates the impacts such violations have, both negatively and positively. The third article is authored by Anak Agung Aritama. It discusses the uncontrolled presence of urban signage to a level that ruins the image of a town, as is observed when one walks along the Hayam Wuruk Corridor of Denpasar Kota. The article focuses on the comprehension of factors leading to the overall lack of control that generates such chaotic effects.

The fourth article is by Agus Dharmaputra. It supports the idea of regulating the development of commercial functions in an urban area. This article offers a preliminary study of considerations used before the location for any minimarket - the commercial functions taken as case studies - is finalized by owners, prior to building permit application to the government. The fifth article is authored by Doddy Kastamayasa. This is a study of a post natural disaster fishing settlement of Ujung Neighborhood in Karangasem Regency on the eastern coast of Bali Island. This settlement was badly hit by the eruption of Mount Agung in 1963. It was then also eroded by significant storms and resultant erosion abrasions over three years from 1997 up to 1999.

The sixth article is documented by Anak Agung Mahendra, which is about the conservation of public spaces of Kendran Village in Gianyar Regency. This study is necessary as the village is denoted as the mext rural tourism destination , a proposition which has been accepted with enthusiasm by Gianyar Regency. The last article is written by Ngakan Juliastika. It discusses problems associated with developers decision to focus more on generating profits rather than conforming to the housing development guidelines and policies that have been established. Taking this situation as a point of departure, this paper suggests seven sets of strategies implemented by various developers at seven different housing developments.

Downloads

Download data is not yet available.
Published
2016-10-25
How to Cite
SUARTIKA, Gusti Ayu Made. EDITORIAL. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), [S.l.], v. 3, n. 3, oct. 2016. ISSN 2355-570X. Available at: <https://ojs.unud.ac.id/index.php/ruang/article/view/24433>. Date accessed: 24 apr. 2024. doi: https://doi.org/10.24843/JRS.2016.v03.i03.p01.
Section
Articles

Keywords

-